Saat orang
dengar bertemu dengan orang dengar, mereka akan saling berbicara untuk
berkomunikasi. Namu,n bagaimana dengan orang tuli saat ingin berkomunikas
dengan sesama tuli? Mereka akan menggunakan bahasa ibu mereka, yakni bahasa
isyarat. Dengan menggunakan bahasa isyarat, akan mempermudah mereka dalam
berkomunikasi karena bahasa isyarat merupakan bahasa alami mereka.
Bahasa isyarat
di Indonesia ada dua, yaitu Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan
Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). SIBI diciptakan dengan beberapa alasan, di
antaranya untuk merepresentasikan Bahasa Indonesia pada tangan, untuk
mengajarkan Bahasa Indonesia secara yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD), dan karena mudah dipelajari oleh orang yang sudah bisa berbahasa
Indonesia.
SIBI dibuat oleh
pemerintah tanpa melibatkan tuli dan dasar pembuatannya mengacu pada Bahasa
Indoensia lisan. SIBI dibuat hanya dengan mengubah Bahasa Indonesia lisan
menjadi Bahasa Isyarat namun kosa kata isyaratnya banyak diambil dari bahasa
isyarat Amerika. Tata bahasa yang digunakan dalam Bahasa Isyarat mengikuti
bahasa Indonesia yang mengandalkan urutan kalimat dan satu isyarat untuk
kata-kata berhomonim.
Sudah benar saat
pemerintah memfasilitasi tulisan Braille untuk akses komunikasi anak tuna
netra, karena mereka sudah lama mengenal Bahasa Indonesia. Dengan mendengarkan
orang yang berbicara secara lisan, tata Bahasa Indonesia sudah diketahui
sebelum mereka mengenal tulisan Braille. Proses menghubungkan tulisan Braille
dan Bahasa Indonesia itu menjadi mudah diakses oleh anak tuna netra.
Namun bagaimana
dengan anak tuli yang dijejali SIBI oleh pemerintah? Apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan anak tuli dan mampu diakses dengan mudah bagi mereka? Anak tuli belum
pernah mengenal Bahasa Indonesia karena mereka tidak mendengar. Proses
menghubungkan SIBI dan Bahasa Indonesia tidak berjalan karena anak-anak tuli
belum tahu tata Bahasa Indonesia. Di sinilah SIBI gagal sebagai sistem untuk
merepresentasikan Bahasa Indonesia yang belum diketahui.
Penerjemahan
SIBI berupa kalimat lengkap dengan awalan dan akhiran. Contohnya kata
perjalanan, dalam SIBI akan diterjemahkan menjadi per-jalan-an. Satu kata
dengan 3 gerakan. Namun saat dihubungkan menjadi kalimat “mobil itu sedang
dalam perjalanan ke sini”, kata “perjalanan” ini tetap dengan gerakan dua jari
yang mengisyaratkan orang berjalan. Sehingga banyak tuli menangkap bahwa mobil
berjalan seperti orang berjalan, bukan dengan menggunakan roda. Sedangkan dalam
BISINDO, berjalannya mobil hanya dengan satu kata disertai ekspresi untuk
menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung.
Contoh kata
lainnya adalah “pengangguran”. SIBI menggunakan tiga gerakan yang mengeja
peng-anggur-an. Disini terdapat kata anggur yang diisyarat layaknya buah
anggur. Padahal tidak ada hubungan kata anggur dan pengangguran, karena anggur
adalah nama buah sendangkan pengangguran berarti tidak punya pekerjaan.
Sedangkan dalam BISINDO, penggangguran diisyaratkan dengan mengepalkan satu
tangan dan mengetuknya ke bagian bawah pipi sebanyak dua kali yang berarti
tidak memiliki kegiatan yang dilakukan atau tidak memiliki pekerjaan.
Guru di Sekolah
Luar Biasa di Indonesia masih banyak yang mengajar dengan menggunakan SIBI dan
oral atau bahasa bibir kepada siswa tuli. Dalam dunia akademis, BISINDO belum
dipercaya mampu menjadi bahasa pengantar yang efektif. Sayangnya dampak
penggunaan SIBI kepada siswa tuli membuktikan bahwa mereka tidak memahami
informasi yang disampaikan gurunya secara maksimal. Tidak sedikit pula yang
menjadi salah paham dengan informasinya yang disampaikan.
Inilah yang amat
disayangkan. Dengan menggunakan SIBI, siswa tuli tidak bisa mengakses informasi
secara maksimal. Banyak pengetahuan yang tidak dapat dipahami oleh siswa tuli
di sekolah. Pemerintah dan masyarakat umum belum banyak yang menyadari hak tuli
dalam berkomunikasi. Padahal sudah dijamin pada Pasal 24 ayat 3 Konvensi Hak
Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa Bangsa bahwa Negara-Negara pihak
harus mengambil langkah-langkah yang layak, termasuk memfasilitasi pembelajaran
bahasa isyarat dan pemajuan identitas lingustik masyarakat tuli.
Melalui bahasa
isyarat, anak tuli mampu mengembangkan pikirannya dan belajar berbagai hal,
termasuk belajar bahasa lisan. Tanpa dibekali bahasa isyarat yang memadai,
mereka akan mengalami masalah dalam mengembangkan pikirannya sehingga mereka
mengalami berbagai masalah.
Referensi :
Presentasi Adhi
Kusumo Bharoto, Laboratorium Riset Bahasa Isyarat pada 1 Maret 2015,
Lainnya opini
pribadi dan diambil dari slide power point berjudul Hak Tuna Rungu
Berbahasa Isyarat oleh M. Umar Muslim,Tokyo University of Foreign Studies,
Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment