Translate

Tuesday, March 17, 2015

Sistem Isyarat Bahasa Indonesia vs Bahasa Isyarat Indonesia

Saat orang dengar bertemu dengan orang dengar, mereka akan saling berbicara untuk berkomunikasi. Namu,n bagaimana dengan orang tuli saat ingin berkomunikas dengan sesama tuli? Mereka akan menggunakan bahasa ibu mereka, yakni bahasa isyarat. Dengan menggunakan bahasa isyarat, akan mempermudah mereka dalam berkomunikasi karena bahasa isyarat merupakan bahasa alami mereka.
Bahasa isyarat di Indonesia ada dua, yaitu Sistem Isyarat  Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). SIBI diciptakan dengan beberapa alasan, di antaranya untuk merepresentasikan Bahasa Indonesia pada tangan, untuk mengajarkan Bahasa Indonesia secara yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan karena mudah dipelajari oleh orang yang sudah bisa berbahasa Indonesia.
SIBI dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan tuli dan dasar pembuatannya mengacu pada Bahasa Indoensia lisan. SIBI dibuat hanya dengan mengubah Bahasa Indonesia lisan menjadi Bahasa Isyarat namun kosa kata isyaratnya banyak diambil dari bahasa isyarat Amerika. Tata bahasa yang digunakan dalam Bahasa Isyarat mengikuti bahasa Indonesia yang mengandalkan urutan kalimat dan satu isyarat untuk kata-kata berhomonim.
Sudah benar saat pemerintah memfasilitasi tulisan Braille untuk akses komunikasi anak tuna netra, karena mereka sudah lama mengenal Bahasa Indonesia. Dengan mendengarkan orang  yang berbicara secara lisan, tata Bahasa Indonesia sudah diketahui sebelum mereka mengenal tulisan Braille. Proses menghubungkan tulisan Braille dan Bahasa Indonesia itu menjadi mudah diakses oleh anak tuna netra.
Namun bagaimana dengan anak tuli yang dijejali SIBI oleh pemerintah? Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan anak tuli dan mampu diakses dengan mudah bagi mereka? Anak tuli belum pernah mengenal Bahasa Indonesia karena mereka tidak mendengar. Proses menghubungkan SIBI dan Bahasa Indonesia tidak berjalan karena anak-anak tuli belum tahu tata Bahasa Indonesia. Di sinilah SIBI gagal sebagai sistem untuk merepresentasikan Bahasa Indonesia yang belum diketahui.
Penerjemahan SIBI berupa kalimat lengkap dengan awalan dan akhiran. Contohnya kata perjalanan, dalam SIBI akan diterjemahkan menjadi per-jalan-an. Satu kata dengan 3 gerakan. Namun saat dihubungkan menjadi kalimat “mobil itu sedang dalam perjalanan ke sini”, kata “perjalanan” ini tetap dengan gerakan dua jari yang mengisyaratkan orang berjalan. Sehingga banyak tuli menangkap bahwa mobil berjalan seperti orang berjalan, bukan dengan menggunakan roda. Sedangkan dalam BISINDO, berjalannya mobil hanya dengan satu kata disertai ekspresi untuk menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung.
Contoh kata lainnya adalah “pengangguran”. SIBI menggunakan tiga gerakan yang mengeja peng-anggur-an. Disini terdapat kata anggur yang diisyarat layaknya buah anggur. Padahal tidak ada hubungan kata anggur dan pengangguran, karena anggur adalah nama buah sendangkan pengangguran berarti tidak punya pekerjaan. Sedangkan dalam BISINDO, penggangguran diisyaratkan dengan mengepalkan satu tangan dan mengetuknya ke bagian bawah pipi sebanyak dua kali yang berarti tidak memiliki kegiatan yang dilakukan atau tidak memiliki pekerjaan.
Guru di Sekolah Luar Biasa di Indonesia masih banyak yang mengajar dengan menggunakan SIBI dan oral atau bahasa bibir kepada siswa tuli. Dalam dunia akademis, BISINDO belum dipercaya mampu menjadi bahasa pengantar yang efektif. Sayangnya dampak penggunaan SIBI kepada siswa tuli membuktikan bahwa mereka tidak memahami informasi yang disampaikan gurunya secara maksimal. Tidak sedikit pula yang menjadi salah paham dengan informasinya yang disampaikan.
Inilah yang amat disayangkan. Dengan menggunakan SIBI, siswa tuli tidak bisa mengakses informasi secara maksimal. Banyak pengetahuan yang tidak dapat dipahami oleh siswa tuli di sekolah. Pemerintah dan masyarakat umum belum banyak yang menyadari hak tuli dalam berkomunikasi. Padahal sudah dijamin pada Pasal 24 ayat 3 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa Bangsa bahwa Negara-Negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak, termasuk memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat dan pemajuan identitas lingustik masyarakat tuli.
Melalui bahasa isyarat, anak tuli mampu mengembangkan pikirannya dan belajar berbagai hal, termasuk belajar bahasa lisan. Tanpa dibekali bahasa isyarat yang memadai, mereka akan mengalami masalah dalam mengembangkan pikirannya sehingga mereka mengalami berbagai masalah.

Referensi :
Presentasi Adhi Kusumo Bharoto, Laboratorium Riset Bahasa Isyarat pada 1 Maret 2015, 
Lainnya opini pribadi dan diambil dari slide power point berjudul Hak Tuna Rungu Berbahasa Isyarat oleh M. Umar Muslim,Tokyo University of Foreign Studies, Universitas Indonesia 

No comments:

Post a Comment