Sebanyak lima orang
difabel tuli mendapatkan SIM C pada Kamis (12/3) di Polres Bantul Yogyakarta. Setelah menjalani ujian praktik
pada Selasa (3/3), mereka mengikuti tes teori pada Kamis (12/3).
Ditemui Solider pada
Kamis (12/3) saat pembagian SIM C kepada
difabel tuli, Yusdiar selaku perwakilan Polres Bantul Yogyakarta menyarankan
kepada seluruh difabel tuli agar menggunakan alat bantu dengar saat mengendari
motor. “Bisa dengar nggak kalau pake alat bantu dengar? Dipakai ya kalo naik
motor biar tahu kalo di belakang ada kendaraan lain”, jelas Yusdiar.
Ketika ditanya terkait
saran yang diberikan kepada difabel tuli, Yusdiar mengatakan bahwa pihaknya
mengikuti rekomendasi yang diberikan oleh dokter. “Kita (polisi) kan menerima
surat rekomendasi dari dokter kalau tuna rungu harus pakai alat bantu dengar.
Ya kita cuma mengikuti saran dokter saja. Nanti kalau terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kecalakaan, pasti kita
(polisi) juga yang disalahkan kalau tidak mengikuti saran dokter. Lebih baik
dipaksakan saja pakai alat bantu dengar, kan lama-lama juga terbiasa”, terang
Yusdiar.
Sedangkan difabel tuli
bercerita dalam bahasa isyarat bahwa penggunaan alat bantu dengar saat
berkendara membuatnya tidak fokus dan terganggu. Bagi mereka alat bantu saat
berkendara bisa berupa lampu, kaca spion, dan getaran dari helmnya. Sehingga
untuk mempermudah pembuatan SIM C, mereka hanya mengiyakan saja indahan dokter
dan polisi.
Laksmayshita Khanza
yang difabel tuli bercerita dalam bahasa isyarat bahwa
dia tidak dapat membuat SIM C di Polres Kota Yogyakarta
pada Rabu (11/3) karena pihak kepolisian berdalih sudah mengikuti prosedur yang
ditetapkan bahwa seluruh jenis disabilitas masuk ke dalam pengguna SIM D
meskipun motor yang dikendarainya roda dua
Bawa Alat Bantu untuk
Permudah Proses.
Pada proses pendaftaran
tersebut, sebanyak enam orang difabel tuli yang mendaftar tidak mendapatkan SIM
C. Dua difabel tuli membawa alat bantu dengar dari rumah dengan tujuan
mempermudah proses pembuatan SIM C. Mereka berdua lolos tes teori dan praktik
karena menggunakan alat bantu dengar. Namun, ternyata pihak kepolisian memberikan
SIM D sehingga mereka berdua menolak.
Sedangkan empat difabel
tuli yang tidak menggunakan alat bantu dengar, tidak dapat mengikuti tes teori
dan praktik. Dalam keseharian, mereka tidak menggunakan alat bantu dengar.
Mereka nyaman berbahasa isyarat. Mereka datang ke Polres Kota Yogyakarta karena mengetahui pengalaman teman
tuli lainnya yang bisa mendapatkan SIM C tanpa alat bantu dengar pada tahun
2009.
Keenam difabel tuli
tersebut menolak diberikan SIM D karena sepeda motor yang mereka gunakan roda
dua, bukan roda tiga seperti difabel daksa. Mereka memilih untuk membatalkan
pembuatan SIM C dan menunggu pendaftaran baru dengan kawan tuli yang lebih
banyak dan mengajak kawan tuli yang tidak memakai alat bantu dengar namun
memiliki SIM C. Harapannya pihak kepolisian akan bisa lebih kooperatif seperti
kepolisian di Polres Bantul Yogyakarta yang mengizinkan
difabel tuli mengakses SIM C.
Muhammad Diki Prasetyo
salah satu difabel tuli yang menolak SIM D mengungkapkan jika terjadi operasi
atau razia sepeda motor di jalan, dia dan kawan-kawan tuli akan menunjukkan kartu anggota Gerakan Kesejahteraan untuk Tuna
Rungu Indonesia (Gerkatin) agar pihak kepolisian mengetahui bahwa Diki
merupakan difabel tuli dan tidak dikenakan denda karena tidak memiliki SIM.
(Ramadhany Rahmi)
No comments:
Post a Comment