Translate

Thursday, May 7, 2015

maaf..

maaf kalo ada kata-kata yang digaris bawahi, atau pake stabilo.. laptop error dan besok kalo sudah kembali waras insyallah akan diupdate tulisannya biar gak bikin pusing bacanya.. hehehe.. semoga bermanfaat :)

Komunitas Difabel Diskusikan Gerakan Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan Disabilitas



Center for Improving Qualitied Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) mengadakan Diskusi Refleksi Pengorganisasian Komunitas dan Mendorong Gerakan kepada 4 komunitas dampingan CIQAL di Hotel Citradream Jln.  AM. Sangaji No.28 Yogyakarta pada Selasa (7/4). Kegiatan ini dihadiri oleh 18 peserta yang terdiri dari Lembaga CIQAL,  Komunitas Persatuan Difabel Nganglik, Organisasi Difabel Mlati, Komunitas RBM  Melati Bhakti Banguntapan Bantul, dan Komunitas RBM Manunggal Karya Pajangan Bantul.
“Kegiatan ini akan dilakukan selama 2 hari yakni hari Selasa dan Rabu. Sehingga sangat diharapkan kepada seluruh peserta yang hadir pada hari ini agar dapat hadir kembali besok agar tujuan dari kegiatan ini tercapai”, jelas Ibnu Sukoco perwakilan dari CIQAL.
Ibnu menambahkan tujuan dari kegiatan ini agar lembaga CIQAL dan komunitas dampingan CIQAL lebih dapat memahami isu tentang kekerasan berbasis gender dan pengintegrasian dengan fokus advokasi untuk perempuan penyandang disabilitas. Kegiatan tersebut juga dilakukan untuk  dapat mengetahui teknis penyusunan kerangka kerja konseptual di lembaga CIQAL tentang advokasi penghapusan kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual.
Sedangkan  Fatkhurozi selaku fasilitator dari LRC-KJHAM Semarang menerangkan bahwa yang termasuk dalam  kekerasan terhadap perempuan berbasis gender  jika memiliki beberapa faktor, yakni adanya tindakan kekerasan kepada perempuan, terjadi tindak kekerasan karena korban adalah seorang perempuan yang terjadi karena adanya diskriminasi gender dan stereotype, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, maupun psikis, dan terjadi di rumah tangga atau tempat publik.
Lebih lanjut Fatkhurozi mencontohkan, jika ada tindakan penjambretan yang korbannya adalah perempuan, itu tidak termasuk dalam kekerasan terhadap perempuan berbasis gender karena itu adalah kasus kriminal biasa dan bisa terjadi pada siapa saja. Contoh dari kekerasan terhadap perempuan berbasis gender adalah jika seorang pelaku laki-laki memperkosa tetangga perempuannya.

Tuli Adalah Kelompok Minoritas Linguistik



“Tuli bukan cacat atau disabilitas fisik, melainkan sebuah kelompok minoritas linguistik pengguna bahasa isyarat,” ungkap Adhi Kusumo Bharoto yang diterjemahkan oleh juru bahasa isyarat. Pernyataan tersebut merupakan salah satu materi dalam seminar bahasa isyarat Minggu (29/3) di Madre, Angkringan Tuli Yogyakarta.
Seminar ini merupakan kerja sama Deaf Art Community (DAC) dan mahasiswa komunikasi Univesitas Veteran Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta yang juga didukung oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Seminar ini merupakan acara puncak bagi peserta yang telah mengikuti program pelatihan Creative, Fun, Attractive (CRAFT)selama bulan Maret 2015. Pelatihan CRAFT merupakan pelatihan bahasa isyarat yang bekerja sama dengan DAC dan ditutup dengan seminar. Pelatihan ini tidak berbayar dan bagi peserta yang mengikuti lebih dari 5 kali kelas bahasa isyarat mendapatkan kamus bahasa isyarat Yogyakarta yang diterbitkan oleh Laboratorium Riset Bahasa Isyarat.
Pelatihan bahasa isyarat ini telah diadakan seminggu tiga kali yakni hari Senin bertempat di Sekolah Semangat Tuli, hari Kamis di identitas kafe, dan hari Jum’at di Madre Angkringan Tuli. Ketiga tempat ini merupakan basecamp dan lokasi tempat anggota DAC bekerja. Pelatihan ini diikuti lebih dari 50 peserta dengan bermacam-macam latar belakang profesi dan usia.
Adhi Kusumo Bharoto, yang juga lulusan studi linguistik pada sebuah kampus di Hong Kong ini menambahkan Tuli adalah pernyataan kultural sebagai identitas Budaya Tuli. Dikatakan demikian karena Budaya Tuli juga memiliki unsur yang sama dengan budaya pada umumnya. Yakni adanya bahasa, sejarah, sistem nilai, tata perilaku, sistem kepercayaan, tradisi, sistem kemasyarakatan, perjuangan, dan kesenian.
Seluruh peserta mengikuti seminar ini hingga pukul 16.00 WIB dan semangat mereka berlanjut hingga hadir dalam pementasan seni pada hari yang sama pukul 19.30 WIB di lokasi yang sama.

Tuli dalam Perspektif Sosial Budaya



Banyak orang langsung menilai bahwa tuli adalah orang yang tidak bisa mendengar atau orang yang memiliki hambatan pendengeran. Namun dari perspektif sosial-budaya,  tuuli bukan merupakan kecacatan, bukan pula difabel atau disabilitas fisik, melainkan sebuah kelompok minoritas linguistik, pengguna bahasa isyarat. Tuli adalah pernyataan kultural sebagai identitas budaya tuli. Dikatakan demikian karena budaya tuli memiliki bahasa, sejarah, sistem nilai, tata perilaku, sistem kepercayaan, tradisi, sistem kemasyarakatan, perjuangan, dan kesenian.
Kebanyakan tuli berisyarat satu sama lain tanpa mempertimbangkan tingkat pendidikan mereka karena  tidak setiap tuli memiliki kemampuan bahasa isyarat yang sama. Di sisi lain, tidak semua tuli menggunakan bahasa isyarat, beberapa masih menggunakan sistem simbol manual. Adapun tuli pengguna bahasa isyarat harian jika berada di rumah (home sign). Home sign adalah bahasa isyarat yang hanya dimengerti oleh anggota keluarga. Sedangkan dialek bahasa isyarat yang menunjukan daerah asal penggunanya masih digunakan dalam kebudayaan Tuli contohnya bahasa isyarat Kolok, bahasa isyarat Jakarta, bahasa isyarat Tarakan, bahasa isyarat Yogyakarta, dan lain sebagainya.
Norma, Nilai, dan Kepercayaan
Bahasa isyarat selayaknya dinilai sebagai kekayaan budaya meskipun ada salah satu kutipan dari orang dengar yang menyatakan bahwa bahasa isyarat bukan bagian dari kebudayaan. Ketulian seyogyanya tidak dianggap sebagai suatu masalah atau penyakit yang perlu disembuhkan karena sebagian besar masyarakat tuli menilai diri mereka sendiri sebagai budaya minoritas.
Dalam berhubungan sosial kemasyarakatan, ada tuli yang hidup sendiri diantara orang-orang dengar, ada juga yang hidup berkelompok. Mereka yang hidup berkelompok lebih mengerti perbedaan budaya dengan budaya lain atau budaya mayoritas. Mereka pun mengerti norma perilaku bahwa tuli memiliki kesetaraan martabat, kehormatan, dan etiket.
Budaya tuli juga memiliki tradisi seperti acara tahunan, contohnya syawalan bersama keluarga besar tuli, lomba, Hari Tuli Internasional, olahraga antar Tuli se- Sekolah Luar Biasa (SLB) se-kota, Nasional, dan bahkan sedunia yang dikenal dengan nama Deaflympic. Tuli juga memiliki nyanyian dalam bahasa isyarat untuk lagu selebrasi. Cerita dalam menggunakan bahasa isyarat untuk mengajarkan alfabet pada anak pun ada. Karya komedi tuli, komik buatan Tuli seperti “That Deaf Guy”, dan deaf anecdote pun muncul sebagai hasil karya tuli yang bercerita mengenai Tuli, bahasa isyarat, peristiwa nyata, humor, dan hal-hal lucu lainnya.
Contoh kelompok tuli yang hidup dalam kemasyarakatan di antaranya Deaf Art Community di Yogyakarta dan Magelang Deaf Club di Magelang. Kelompok olahraga tuli pun ada seperti kelompok futsal tuli, deaflympic, dan PORTURIN. Sekolah tuli juga ada contohnya Gallaudet University di Amerika Serikat yang menggunakan metode bahasa isyarat dalam proses belajar mengajar. Sedangkan internet dan media sosial yang akses untuk tuli contohnya dengan video rekaman pada skype, camfrog, oovoo, dan teknologi termodern seperi video call.
Seni dan Sejarah Tuli
Tidak sedikit masyarakat melihat bahwa kemampuan Tuli dalam seni tergolong bagus. Penilaian ini dikarenakan Tuli dapat memaksimalkan kemampuan visual. Mereka mampu melihat bagaimana orang lain mengasah kemampuan seninya sehingga mereka mampu mencontohnya dan mengaplikasikan terhadap dirinya. Contoh seniman Tuli dalam bidang musik adalah Ludwig Van Beethoven dan Hellen Keller sebagai contoh penulis tuli. Tuli juga mampu bermain teater, bercerita dengan menggunakan bahasa isyarat, memahat, melukis, dan lain sebagainya.
Menurut Paddy Ladd seorang peneliti tuli dari University of Bristol,  perkembangan bahasa isyarat sudah ada jauh sebelum abad ke 14. Sedangkan pada abad ke 17, alfabet tangan diciptakan oleh Juan Pablo Bonet dalam bukunya. Kemudian pada tahun 1880 terdapat   International Congress on the Education for the Deaf (ICED) di Milan, Italia yang membahas mengenai metode pengajaran dan penggunaan bahasa untuk tuli dalam pendidikan tuli, oralism atau manualism. Namun pada kongres tersebut, mekanisme oral yang mendapat suara terbanyak yang juga mendapat dukungan dari Alexander Graham Bell. Sehingga perkembangan bahasa isyarat mulai menurun sejak saat itu. Setelah peristiwa penting tersebut memicu pergerakan masyarakat tuli dengan berdirinya The National Association of the Deaf (NAD) di Amerika untuk memperjuangkan hak tuli, melindungi budaya dan bahasa mereka. Perjuangan penggunaan bahasa isyarat kembali berkembang pada tahun 1960 oleh William C. Stokoe dan penelitiannya mengenai ‘Sign Language Structure” pada Bahasa Isyarat Amerika.
 Perjuangan masyarakat tuli di dunia mengenai pendidikan tuli berhasil membuahkan hasil dengan terselenggarakan ICED kedua di Vancouver, Kanada pada 2010 yang membahas tentang resolusi Milan. Metode pengajaran dan penggunaan bahasa yang tepat dalam pendidikan tuli adalah bahasa isyarat. (Ramadhany Rahmi)
Referensi : Presentasi pada Seminar “Mengenal Budaya Tuli dan Bahasa Isyarat”. Yogyakarta, 29 Maret 2015 oleh Adhi Kusumo Bharoto, peneliti di Laboratorium Riset Bahasa Isyarat.

LRBI Seleksi 10 Calon Peserta Pelatihan Pengajaran Bahasa Isyarat



Laboratorium Riset Bahasa Isyarat (LRBI) dibawah naungan Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia mengadakan seleksi wawancara kepada sepuluh orang peserta guna mengikuti pelatihan pengajaran bahasa isyarat dan pelatihan dasar pembuatan kamus di Balai Kelurahan Siwalankerto, Surabaya (19/4) lalu.
“Seleksi yang sama sudah dilakukan sebelumnya di Semarang minggu lalu. Calon peserta yang terpilih akan mengikuti pelatihan pengajaran bahasa isyarat dan pelatihan dasar pembuatan kamus di Jakarta selama 2 bulan, pada bulan Juni dan Juli”, jelas Adhi Kusumo Bharoto dalam bahasa isyarat selaku perwakilan dari LRBI.
Adhi berharap akan lebih banyak lagi tuli yang memperjuangkan bahasa isyarat, meskipun belum ada calon peserta dari Bandung yang mendaftar. Pelatihan serupa sudah pernah dilakukan pada tahun 2014 di Universitas Indonesia dan telah menghasilkan kamus bahasa isyarat Yogyakarta dan kamus pendamping edisi pertama.
Kegiatan ini dihadiri oleh 19 orang yang tergabung dalam organisasi Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) Surabaya. Dalam organisasi ini mayoritas anggotanya menggunakan oral atau membaca gerak bibir dalam berkomunikasi, bahasa isyarat tidak banyak digunakan.
“Kedatangan LRBI sangat membuat kami senang karena kami baru memahami kalau bahasa isyarat itu bagus dan kita nyaman memakainya. Kami berharap di lain kesempatan LRBI bisa datang lagi ke Surabaya untuk mengajari kami bahasa isyarat”, ungkap Yuyun selaku ketua DPD Gerkatin Jawa Timur.

Tentang Tuli dan Kebutuhan Berbahasa Isyarat



Bahasa merupakan keterampilan dasar manusia yang diperlukan untuk melakukan banyak kegiatan seperti berkomunikasi, berpikir, bekerja sama, dan lain sebagainya. Melalui bahasa, orang menjadi anggota masyarakat dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Sama halnya dengan difabel tuli yang memerlukan bahasa isyarat  untuk melakukan banyak kegiatan kegiatan baik perorangan maupun berkelompok. Contoh kelompok tuli diantaranya ada Deaf Art Community (DAC), Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) , dan Laboratorium Riset Bahasa Isyarat (LRBI).
Penelitian bahasa isyarat di Indonesia masih sangat sedikit sehingga masih banyak kesalahpahaman mengenai bahasa isyarat. Contohnya, beberapa orang mempertanyakan keberadaan bahasa isyarat sebagai bahasa yang alami. Banyak orang berpikir bahwa bahasa isyarat tidak memadai dan bahasa isyarat tidak dapat menjadi bahasa pengantar dalam mendidik anak-anak Tuli *. Banyak orang masih belum mengerti tentang perkembangan bahasa isyarat anak-anak Tuli. Selain itu, banyak orang belum mengetahui bahwa di Indonesia terdapat lebih dari satu bahasa isyarat. Hingga saat ini, empat bahasa isyarat yang berbeda telah diidentifikasi di Indonesia, dan kemungkinan terdapat lebih banyak lagi bahasa isyarat lainnya. Di Bali terdapat Kata Kolok, ‘bahasa Kolok’, yang digunakan oleh orang-orang di Desa Kolok (Desa Tuli) di Desa Bengkala, Buleleng, Bali (Marsaja, 2003 dan 2008). Terdapat juga bahasa isyarat Jambi yang digunakan secara intensif oleh murid-murid Tuli di sekolah Tuli di Jambi, Sumatra (Saharudin, 2007).
Bahasa isyarat yang digunakan di Jakarta dan Yogyakarta juga berbeda sebab kognat kosakata dasar keduanya di bawah 80%. Ini menunjukkan bahwa lokasi geografis yang berbeda di Indonesia memilki bahasa isyarat yang berbeda. Situasi ini juga terjadi di beberapa negara di Asia Tenggara. Sebagai contoh, terdapat tiga bahasa isyarat yang berbeda di Viet Nam : bahasa isyarat hanoi, bahasa isyarat Hai Phong, dan bahasa isyarat Ho Chi Minh City (Woodward, 2000).
Bahasa isyarat tidak sama dengan gestur dan pantomim. Bahasa merupakan sebuah bahasa yang disampaikan secara visual, tidak secara auditoris, untuk berkomunikasi. Dalam lingustik atau ilmu bahasa, bahasa isyarat diakui sebagai bahasa yang lengkap. Namun, bahasa isyarat masih memiliki kendala dalam hal pengakuan oleh khalayak ramai di beberapa tempat atau negara. Karena merupakan bahasa alami, bahasa isyarat memiliki tata bahasa sendiri seperti bahasa lisan lain, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis, dan sebagainya. Bahasa isyarat juga memiliki fitur unik yang tidak dimiliki bahasa lisan. Sebagai contoh, dalam bahasa isyarat Yogyakarta, angka diletakkan setelah nomina (kata benda) (seperti pada PENSIL DUA, ‘dua pensil’), sedangkan dalam bahasa Indonesia tertulis/lisan, angka diletakkan sebelum nomina (kata benda).
Isyarat dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu  bahasa isyarat alami dan sistem isyarat buatan. Bahasa isyarat alami berkembang secara alamiah dalam komunitas Tuli. Bahasa tersebut memiliki tata bahasa yang berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat denagr di negara yang sama. Contoh bahasa isyarat alami adalah bahasa isyarat Amerika (American Sign Language atau ASL), bahasa isyarat Inggris (British Sign Language atau BSL), bahasa isyarat Jakarta, bahasa isyarat Yogyakarta, dan Kata Kolok. Sistem isyarat buatan bukan merupakan bahasa, melainkan sebuah cara untuk merepresentasikan tata bahasa lisan dengan menggunakan isyarat-isyarat. Contoh sistem isyarat buatan adalah Signing Exact English (SEE), Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI), dan Bahasa Malaysia Kod Tangan. Perlu dicatat bahwa orang-orang yang mengembangkan sistem isyarat buatan kerap tidak mempercayai bahwa bahasa isyarat alami memadai untuk tujuan pendidikan.
Hingga saat ini sudah ada ribuan referensi buku dan jurnal tentang bahasa isyarat di dunia. Di Indonesia ada Kata Kolok (Marsaja, 2008), Kamus Pendamping dan Buku Pedoman Siswa Bahasa Isyarat Yogyakarta, dan Kamus Pendamping dan Buku Pedoman Siswa Bahasa Isyarat Jakarta. Sedangkan setiap negara memiliki bahasa isyarat sendiri seperti Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO), American Sign Language (ASL) , Hong Kong Sign language (HKSL), Taiwan Sign Language (TSL), British Sign Language (BSL) , French Sign Language (FSL), Australian Sign Language (AUSLAN). Saat ini tercatat ada 137 bahasa isyarat yang sudah teridentifikasi oleh ethnologue.com. (Ramadhany Rahmi)

*Huruf T kapital pada kata Tuli digunakan untuk menunjukkan identitas orang-orang tuli sebagai sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai identitas, bahasa, dan budayanya tersendiri.
Referensi :
1. Presentasi pada Seminar “Mengenal Budaya Tuli dan Bahasa Isyarat”. Yogyakarta, 29 Maret 2015 oleh Adhi Kusumo Bharoto, peneliti di Laboratorium Riset Bahasa Isyarat.
2. Kamus Bahasa Isyarat Yogyakarta Edisi Pertama Indonesia oleh Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.