Translate

Monday, December 29, 2014

Komunitas Seni Tuli Merayakan Ulang Tahun ke-10

Deaf Art Community (DAC) atau sebuah komunitas seni tuli yang beralamat di Jalan Langenarjan Lor No.16 A merayakan ulang tahun ke-10 pada Minggu, 28 Desember 2014 di sebuah angkringan bernama Angkringan Toeli. Angkringan yang berlokasi di Kuliner Pringwulung Jogja ini menjadi tempat perayaan ulang tahun DAC ke-10 karena anggota DAC latihan bekerja di sini pada sore hingga malam hari.
Tidak hanya difabel tuli saja yang datang malam itu. Sejak pukul 16.00 WIB, Angkringan Toeli sudah kedatangan tamu juga dari keluarga dan kerabat DAC. Acara yang selesai pukul 22.00 WIB ini kedatangan pengunjung sekitar 150 orang. Senior DAC juga datang ikut meramaikan acara.
Acara ini dimulai dengan berdoa bersama serta memperkenalkan diri di lantai 2. Perkenalan diri menjadi penting karena tidak semua tamu yang datang saling mengenal. Beberapa tuli ada yang datang dari Solo dan Bekasi khusus untuk ulang tahun DAC sekaligus untuk silaturahmi karena sudah lama tidak berkumpul bersama.
"Saya senang DAC kini sudah memasuki umur yang ke-10. Saya juga bangga sudah banyak tuli yang bisa keluar negeri seperti Hongkong, Swiss, dan New York. Ini membuktikan bahwa tuli punya kemampuan yang bisa jadi melibihi orang normal seperti Broto yang masih tetap di Bantul", canda Broto salah satu pendiri DAC saat memberikan sambutan.
Adhi sebagai pilot DAC angkatan pertama menambahkan, "Dulu sebelum muncul DAC tahun 2004, belum banyak tuli yang bisa kuliah seperti sekarang. Banyak tuli yang masih malu ngobrol dengan teman normal bahkan banyak diam di rumah. Sejak ada DAC, tuli jadi mengenal teater, hip hop, Bahasa Isyarat, dan juga puisi Isyarat. Sekarang tuli sudah berkemang percaya dirinya dan harus bisa terus percaya diri dengan identitasnya."
Kesan Adhi mengenai DAC juga direspon oleh Hafidh yang baru mengenal DAC tahun 2010. "Dulu aku belajar Bahasa Isyarat dari kamus di SLB dan banyak bingung. Tahun 2010 aku diajak temanku nonton pentas DAC di Taman Budaya dan mengenal teman tuli baru. Aku juga belajar Bahasa Isyarat Indonesia dari DAC. Terima kasih."
Setelah ramah tamah di lantai 2, semua tamu turun menyaksikan Diki dan Wahyu bermain alat musik jimbe. Mereka ingin membuktikan bahwa tuli bukan halangan untuk merasakan musik. Mereka mendengarkan musik tidak dengan telinga, namun dengan detak jantung. Zakka, Diki, Arief, Ahmad, dan Kiki juga menampilkan hip hop dance diiringi oleh musik dari Beatboxing of Jogja. Gerimis tidak menghalangi semangat mereka untuk menari. Perasaan bahagia bisa berkumpul bersama menjadi semangat mereka untuk menari.
Puncak acara ditandai dengan pemotongan tumpeng dan makan bersama. Ada 8 macam nasi kucing, ceker, kepala ayam, tahu bacem, tempe bacem, sate telur, sate sosis, arem-arem gudeg, sate nugget, teh dan jahe yang menjadi sajian untuk semua tamu yang hadir.

Tuesday, December 9, 2014

Saudara yang Mengajarkan Senyum Tanpa Pamrih

        Jenuh. Inilah yang aku rasakan saat memasuki semester akhir menjadi mahasiswa, alias saat
mengerjakan skripsi. Sudah tidak ada lagi kesibukan organisasi di kampus dan kerja paruh waktu yang dulu sering menyita waktuku. Aku memang harus fokus menyelesaikan skripsiku, namun bosan rasanya dengan kegiatan yang itu-itu saja. Aku putuskan untuk pergi berlibur selama 3 hari di sebuah desa di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Menikmati perjalanan dengan menggunakan bus ekonomi hingga basah kuyup kehujanan pun tidak membuatku hilang semangat untuk segera sampai di rumah temanku. Sesampainya di sana, temanku mengajakku menikmati udara pagi sembari berjualan tempe di pasar.

       Saat siang hari, kami berbincang santai di teras depan rumahnya. Aku bermain HP dan membuka sebuah jejaring sosial, twitter. Muncul satu tautan berisi video sebuah komunitas tuli di Jogja yang sontak membuatku tertarik. Melihat profil video komunitas tersebut, aku segera mencari informasi mengenai beradaan komunitas itu yang kebetulan berasal dari Jogja, tempatku menempuh studi S1. Terlihat jelas bagaimana pemain dalam video tersebut mencoba berbicara namun tidak dengan suara, melainkan dengan tangannya. Mereka menggunakan Bahasa Isyarat. Tak terasa aku menyunggingkan senyum, senyum bahagia karena akhirnya aku tahu apa yang aku inginkan. Aku ingin mengenal Bahasa Isyarat.

      Awalnya aku masih merasa ragu untuk datang ke Benteng Vredebung Jogja, tempat komunitas tuli tersebut mengadakan pementasan. Ragu karena tak pernah sebelumnya aku mengenal dunia tuli. Memang ada perasaan khawatir saat aku melangkahkan kaki memasuki ruangan pameran komunitas. Aku khawatir tidak bisa menjalin komunikasi baik dengan mereka. Selain karena aku tak pernah mengenal Bahasa Isyarat, aku juga khawatir mereka akan tersinggung jika aku salah bertindak. Salah seorang panitia pada acara tersebut adalah temanku saat dulu aku bekerja paruh waktu. Dia mengantarkanku berkenalan dengan salah seorang relawan komunitas tuli bernama Marlita. Marlita terlihat sangat ramah dengan senyum sederhananya. Dia memberiku sebuah alamat tempat biasa komunitas tuli berkumpul dan belajar bersama. Satu hal yang membuatku makin bersemangat kala itu adalah, basecamp komunitas tuli di sana membuka kelas Bahasa Isyarat gratis yang dibuka untuk umum!

      Hanya berselang satu hari, aku langsung datang menuju alamat yang diberikan oleh Marlita. Sesampainya di lokasi, aku bertemu dengan seorang relawan yang mengantarkanku berkenalan dengan teman-teman tuli. Canggung rasanya menggerakan tanganku untuk mengikuti gerakan tangan mereka mengisyaratkan beberapa kata. Awalnya aku hanya terdiam memandang proses belajar di kelas. Tidak ada teman berbincang saat itu karena semua peserta dan guru di kelas itu tuli, tidak bisa mendengar. Aku pun hanya terdiam, tak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Setelah kelas Bahasa Isyarat pertamaku usai, teman-teman tuli mengajakku berbincang dan memberiku sebuah nama isyarat. Meskipun kami masih banyak berkomunikasi secara tertulis, aku merasa sangat senang karena sudah diberi nama isyarat dan juga pengetahuan baru yang sudah lama aku minati, Bahasa Isyarat. 

     Aku bertekad untuk terus belajar Bahasa Isyarat, termasuk juga belajar budaya tuli. Semua teman-teman tuli menerimaku dengan ramah dan terbuka. Kerap kali mereka mengajakku makan malam bersama seusai kelas Bahasa Isyarat dan mengajakku menonton pementasan mereka. Dari pementasan itulah, aku menjadi semakin kagum dan ingin lebih mengenal komunitas tuli yang bernama Deaf Art Community itu.

      Tidak aku sangka, mereka yang memiliki keterbatasan mendengar masih bisa menikmati hidup ini serasa tanpa beban. Senyum bersahabat selalu mereka lontarkan kepadaku saat aku mengatakan pementasan mereka luar biasa. Ya, luar biasa. Meskipun mereka tidak bisa mendengar dengan telinga, namun mereka bisa mendengar melalui detak jantung mereka. Terbukti dengan adanya dua personil Deaf Art Community (DAC) yang mampu memainkan alat musik jimbe dengan tempo yang seirama. Seluruh personil DAC pun mampu menari hip-hop dengan gerakan yang seirama dengan suara dari Beatboxing of Jogja. Teman-teman tuli masih bisa merasakan getaran dari suara yang dihasilkan Beatboxing of Jogja, inilah yang menuntun mereka mampu menari hip-hop.

       Tidak hanya tarian hip-hop saja yang mampu mereka suguhkan pada saat pementasan. Mereka juga menampilkan puisi Bahasa Isyarat, puisi yang mereka ciptakan bersama sebagai bentuk curahan hati. Dalam puisi tersebut mereka bercerita, "Apa salah kami lahir di dunia? Kami juga lahir dari buah cinta, sama sepertimu anak-anak Adam dan Hawa yang terlahir selalu tanpa dosa. Sempurna, adalah kata yang sangat menyakitkan, seperti tombak yang kau tusuk dalam ingatan. Pandangan sinismu buat semangatku berantakan, terpaan cacian timbulkan jurang perbedaan. Anak-anak lain bisa melihat dan mendengar. Rasa sempurna seenaknya terus berkoar, diskriminasi terjadi pada kami yang tuli karena bahasa tubuhlah yang dapat kami mengerti."

      Mereka mampu memotivasi hidupku untuk lebih bersyukur dan tidak banyak berkeluh kesah. Banyak manusia yang malu menatap diri di cermin, di saat teman-teman tuli mampu tersenyum diantara keterbatasan. Mereka bergerak seakan menantang dunia. Menunjukkan bahwa mereka bukan hanya isyarat tanpa makna. Mereka bahkan menyambut semua pandangan sebelah mata dengan prestasi tanpa ujung lelah. Seperti halnya puisi yang mereka ciptakan, aku ingin ikut berlari dalam setiap dentuman semangat mereka. Mereka tak hanya sahabat, tapi juga saudara yang mengajarkan senyum tanpa pamrih. Mereka yang membagikan genggaman penuh cinta, bahkan mereka yang memberi arti nilai kehidupan penuh rasa syukur.

      Semua manusia, tiada yang sempurna. Indahnya dunia, pasti selalu ada. Terus berusaha dan berani mencoba, syukuri nikmati-Nya atas karunia. Keterbatasan tak menjadi halangan untuk raih mimpi dan masa depan. Biarkan orang lain yang selalu menghina seperti tak punya dosa. Terus berusaha hingga mampu melewatinya karena aku percaya, kita satu penuh cinta.


PENTAS DAC TAHUN 2012

KELUARGA BESAR DAC







Friday, October 10, 2014

Mengenal Bahasa Isyarat Melalui Kelas Relawan


peserta belajar alfabet isyarat
Sebanyak 30 mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) baik yang masih menempuh S1 maupun S2, Jum'at sore 10 Oktober 2014 mengikuti Kelas Relawan yang diselenggaran di Perpustakaan UGM lantai 3. Forum terbuka untuk mahasiswa UGM ini dimulai pukul 16.00 dan diakhiri pada pukul 18.00. Pembicara pada acara ini adalah Marlita Putri yang juga seorang mahasiswa S2 UGM, Arief Wicaksono sebagai pembicara tuli dan Ramadhany sebagai penerjemah Bahasa Isyarat.

Sesi awal forum ini dimulai oleh Marlita dengan memperkenalkan dirinya dan pembicara tuli yang juga adiknya. Marlita menjelaskan 9 tahap dasar bagaimana cara berkomunikasi dengan tuli. Presentasi dilanjutkan oleh Arief. Materi yang disampaikan Arief adalah hak dasar tuli menggunakan Bahasa Isyarat dan mengenai aksesibilitas tuli di tempat umum. Disela-sela presentasinya, Arief menyampaikan manfaat yang diperoleh tuli dengan menggukan isyarat, antara lain tuli mampu mengembangkan kemampuan kognitifnya sehingga informasi dapat diakses oleh tuli. Hambatan tuli di Indonesia juga disampaikan oleh Arief dengan maksud menyadarkan kepada peserta forum bahwa tuli kurang mendapatkan akses yang sesuai dengan kebutuhannya.

Peserta Kelas Relawan juga diajarkan cara berkomunikasi dengan tuli secara sederhana. Mereka dibekali alfabet dalam Bahasa Isyarat dan percakapan dasar. Dengan diselenggarakannya forum ini, panitia dan pembicara berharap semakin banyak masyarakat luas mengenal budaya tuli sehingga mereka tidak lagi memandang sebelah mata atas kemampuan tuli atau bahkan menghina bahasa asli mereka, yakni Bahasa Isyarat.

Sunday, October 5, 2014

Deaf Art Community memperkenalkan budaya tuli kepada anak usia dini

Jum'at, 30 September 2014 Deaf Art Community (DAC) menggelar pentas rutin dengan tema Deaf Art Community Goes To School di ECCD-RC, Pusat Informasi dan Pelayanan Anak Usia Dini, Jalan DI. Panjaitan no. 70 Yogyakarta. Acara yang dimulai sejak pukul 09.00 hingga pukul 11.00 ini juga dihadiri dimeriahkan oleh Beatboxing of Jogja dan Wadyo Bolo, rekan DAC yang selalu mengiri pada setiap pementasan.

Pentas Jumat siang ini merupakan rangkaian acara DAC Goes To School pada bulan September dan merupakan sekolah ketiga setelah sebelumnya DAC menggelar pentas di SD Salam Yogyakarta dan SD Fast Track Yogyakarta. Terdapat 6 personil DAC yang datang pada pentas kali ini, yakni Wahyu Handoyo, Riski Purna Adi, Arief Wicaksono, Muhammad Diki, Roby Ahmad, dan Stephanie Kusuma. Pentas DAC ini juga dibantu oleh 4 personil Beatboxing of Jogja, 2 personil Wadyo Bolo, dan 2 orang volunteer DAC.

Rangkaian acara pentas kali ini dimulai dari Pak Broto selaku pembina DAC menarik perhatian anak-anak ECCD-RC dengan suara helikopter yang keluar dari salah seorang personil Beatboxing of Jogja. Tak selang 5 menit, banyak anak-anak yang tertarik dan menduduki tempat duduk yang sudah disediakan panitia untuk menyaksikan pentas DAC. Terdapat lebih dari 30 anak usia dini didampingi oleh orang tua dan guru mereka memenuhi lokasi pementasan.

Panas terik matahari siang ini tidak menyurutkan semangat DAC untuk memperkenalkan diri dan menunjukkan kebolehan mereka dalam bermain jimbe, puisi isyarat dan hip hop dance. Ada seorang anak bernama Jeje yang ikut menari bersama DAC dan ikut memukul-mukul jimbe. Namun ulah Jeje yang hiperaktif itu tidak membuat personil DAC merasa terganggu. Mereka membiarkan Jeje memukul jimbe dan ikut bernari bersama mereka karena mereka juga pernah merasakan rasanya menjadi anak kecil yang membutuhkan perhatian yang berbeda.

Setelah menampilkan rangkaian pementasan, DAC mengajarkan alfabet isyarat kepada anak-anak dan mengajarkan isyarat sederhana seperti terima kasih, sama-sama, dan I Love You. Tujuannya agar anak-anak mendapatkan wawasan mengenai budaya tuli sejak dini. Sehingga diharapkan kelak saat mereka dewasa dan bertemu dengan orang tuli, mereka tidak menghindar untuk berkomunikasi dan membuka pikiran mereka untuk saling menghargai perbedaan.

Agar setiap anak bisa ikut bergembira bersama, DAC mengajak semua anak yang menyaksikan pentas ikut menari bersama setelah acara ditutup. Terdapat 25 anak ikut tertawa dan menari bersama DAC, namun juga ada yang menangis dan asik bermain sendiri di tempat yang berbeda.

Acara ditutup pada pukul 11.00. Orang tua murid ECCD-RC berdatangan menuju stand DAC yang menjual berbagai macam hasil karya DAC seperti gelas, pigura, dan laci. Setiap pengunjung yang datang ke stand DAC pun diberi selembar kertas berisikan kisah anak tuli DAC mengenai hubungan komunikasi diantara mereka dan orang tua mereka. Semua pengunjung yang datang juga membeli pin Difabel for Cancer yang menjadi program DAC untuk memberikan donasi dari seluruh hasil penjualan pin ke Yayasan Kasih Anak Kanker Jogja.

Thursday, October 2, 2014

Deaf Art Community, sebuah komunitas seni tuli dengan semangat inklusi

Semua orang berhak untuk saling berinteraksi, berkomunikasi, dan mendapat informasi. Beragam cara dapat dilakukan untuk melakukan hal tersebut, normalnya ada dua hal yang dominan dalam berkomunikasi, yaitu suara dan visual. Namun tidak semua orang memiliki kedua hal tersebut.

Selama ini teman-teman tuli sering mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang (pendidikan, lapangan kerja, transportasi umum, dll) yang berimbas pada tertutup dan hilangnya kesematan tuli untuk beraktualisasi dan menunjukkan peran di dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kurangnya akses informasi dan ketiadaan sarana komunikasi universal yang dapat diakses bersama secara setara oleh mereka dan hearing people atau orang-orang yang bisa mendengar.

Tuli atau kesulitan mendengar tidak menjadikan teman-teman Deaf Art Community menjadi hilang kepercayaan diri. Mereka yang tergabung dalam sebuah komunitas seni tuli atau lebih dikenal sebagai Deaf Art Community (DAC) tetap semangat menjalani aktivitas harian mereka seperti sekolah, kuliah, bahkan ada yang sudah bekerja. DAC memiliki sebuah rumah singgah atau bascamp di Jalan Langenarjan Lor no.16 A, Panembahan, Kraton, Yogyakarta.

DAC dibentuk sebagai suatu wadah bagi komunitas tuli dan orang mendengar untuk berkumpul dan berinteraksi dengan menggunakan metode bahasa isyarat. Sehingga mereka bersama-sama bisa bersinergi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu hilangnya batas komunikasi.

DAC menjadi komunitas yang bisa menjadi tempat bagi tuli dan orang mendengar untuk saling belajar, berkreasi, berkarya, dan bersinergi bersama-sama. DAC berdiri pada tanggal 28 Desember 2004 atas dasar prakarsa dari Komunitas Tuna Rungu Yogyakarta yang pada waktu itu tergabung dalam komunitas Matahariku.

Kegiatan Rutin DAC
1. Sekolah Semangat Tuli (SST)

Sekolah tidak harus terdaftar secara formal dan administratif. Sekolah adalah tempat untuk belajar, mendapatkan ilmu baru, dan berbagi dengan sesama. SST didirikan sebagai wadah bagi teman-teman tuli dan orang mendengar mengasah kemampuan bahasa isyarat, berinteraksi, dan saling belajar. Selain ilmu yang didapat akan lebih beragam, mereka mencoba menghapus jurang pemisah antara tuli dan orang mendengar. Mereka beranggapan diskriminasi terjadi ketika mereka bersikap tertutup, oleh karemanya mereka mencoba terbuka terhadap masyarakat umum.

kelas bahasa isyarat
Setiap hari Senin dan Kamis mulai pukul 16.00 - 18.00 WIB, mereka membuka Kelas Bahasa Isyarat yang dibuka untuk umum. Kelas Bahasa Isyarat ini tidak dipungut biaya alias gratis. Pengajar kelas ini sudah mendapatkan pelatihan dari Laboratorium Riset Bahasa Isyarat di Universitas Indonesia. Mereka adalah Stephanie Kusuma Rahardja, Arief Wicaksono, Alim Hizbullah, dan Riski Purna Adi. Pada setiap sesi juga terdapat dua asisten pengajar yang membantu mengoreksi kata isyarat yang dipelajari oleh murid kelas Bahasa Isyarat.

Dalam komunitas ini, seluruh anggotanya menggunakan Bahasa Isyarat untuk saling berinteraksi. Termasuk juga hearing people yang ikut berkecimpung di dalam komunitas ini. Selain bertujuan untuk memperkenalkan budaya tuli, komunitas ini juga ingin mendukung BISINDO atau Bahasa Isyarat Indonesia untuk diakui oleh pemerintah Indonesia karena BISINDO merupakan bahasa asli yang dibuat oleh, dari, dan untuk tuli.

2. Waroeng Toeli

DAC sebuah komunitas seni tuli yang kerap melakukan berbagai macam aktivitas kreatif, seperti bermusik, melukis, teater, break dance, hingga puisi visual. Tak hanya itu, mereka pun memproduksi kaos, pin, gelas, dan merchandise lainnya. Semuanya mereka lakukan secara mandiri, mulai dari tahap desain hingga pemasaran. Aktivitas tersebut mereka lakukan di Waroeng Toeli (WT).

3. Difabel for Cancer

Berbagi tak pernah rugi. Semangat inilah yang menginspirasi mereka memproduksi pin bertuliskan Difabel for Cancer (difabel peduli kanker). Pin yang mereka produksi secara mandiri dari proses desain hingga pemasaran ini dijual dengan harga Rp 5.000,- dan 100% hasil penjualan mereka sumbangkan ke Yayasan Kasih Anak Kanker Jogja. Salah satu bentuk kepedulian dengan sesama. Meskipun mereka memiliki keterbatasan mendengar, namun mereka masih memiliki kepedulian kepada penyandang kanker.

4. Pembuatan Film
Iklan Layanan Masyarakat atau ILM dibuat oleh DAC bekerjasama dengan tim pembuatan film dari Kluwung Indonesia. Film yang berisikan pesan kepada orang tua yang memiliki anak tuli bahwa mereka memiliki hak untuk bergaul dan bersosialisasi dengan masyarakat umum. Jangan melarang anak tuli untuk belajar di luar rumah dan mengasah kemampuan mereka bersama teman-teman yang lain karena dengan mendukung aktivitas positif anak, potensi yang ada dalam diri mereka mampu berkembang lebih baik.

5. Latihan Pementasan
Sebelum pementasan, tim DAC biasa berlatih di halaman SST. Setiap rabu sore juga rutin diadakan latihan bermain jimbe, alat musik yang dapat mereka dengarkan melalui getaran yang dihasilkan. Ada dua anggota DAC yang sudah cakap memainkan jimbe yakni Diki dan Wahyu. Mereka mendapatkan latihan dasar memaikan jimbe dari salah seorang mahasiswa di Jogja yang dengan ikhlas membagikan ilmunya. Seiring berjalannya waktu, Diki dan Wahyu sudah bisa mandiri menciptakan irama-irama baru.

Latihan lainnya seperti teater, pantomim, puisi Bahasa Isyarat, dan hip hop juga biasa diadakan di halaman SST. Ide dasar teater dan pantomim muncul dari tuli DAC dan kemudian berlatih bersama Pak Broto yang juga menjadi pembina dalam komunitas ini. Puisi isyarat merupakan curahan hati tuli di DAC yang dituangkan ke dalam sebuah puisi isyarat. Puisi yang sudah dibuat berjudul "Adam dan Hawa" dan "Sekolah Inklusi".

Tuli DAC juga mampu menunjukkan bakat tari mereka, dalam hal ini hip hop. Mereka memilih hip hop karena sesuai dengan musik yang dapat mereka dengar, yakni beatbox. Suara yang keluar dari mulut teman-teman Beatboxing of Jogja mampu membuat dada teman-teman bergetar sehingga mereka dapat mengikuti temponya. Gerakan hip hop yang mereka kuasai berkat latihan rutin yang awalnya dibimbing oleh salah seorang mahasiswa di Jogja. Namun kini mereka mampu menciptakan gerakan baru secara mandiri dengan bantuan youtube.

6. DAC Goes to School

Dengan mengusung tema "Berbagi Semangat dengan Sesama", DAC mengunjungi sekolah-sekolah, khususnya sekolah inklusi. Kesenian tetap menjadi landasan kegiatannya dan bekerjasama dengan Beatboxing of Jogja dan Wadyo Bolo di setiap pementasan. Cerita utama yang mereka usung adalah "Aku Ingin Menjadi Kupu Kupu" yang merupakan gagasan dari salah seorang anggota DAC.

DAC Goes to School
Saat ini DAC telah menjalin relasi dengan sejumlah sekolah dan universitas yang ada di Yogyakarta. Lewat kunjungannya, banyak penonton dan instansi yang tertarik terhadap budaya tuli, salah satunya adalah Bahasa Isyarat. Tak jarang pula usai ementasan banyak orang tua yang berkonsultasi mengenai anaknya yang tuli atau para akademisi yang harus menghadapi teman-teman tuli.

Mulai dari Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Malang, Makassar, hingga Lombok sudah mereka datangi untuk pementasan dan seminar. Dua anggota DAC pun pernah mendapat undangan dari Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menjadi pembicara di Swiss dan New York pada tahun 2013.

7. Ulang Tahun DAC

Acara ini rutin diselenggarakan setiap tanggal 28 Desember. Dalam acara ini mereka menunjukkan pementasan dari hasil karya mereka. Konsep yang mereka usung selalu berbeda setiap tahunnya. Dalam kesempatan ulang tahun ini, DAC menyumbangkan hasil penjualan pin Difabel for Cancer yang sudah digalang setiap tahun.

Keanggotaan DAC
Istilah ketua yang biasa digunaan dalam struktur kepengurusan, tidak berlaku di DAC. Komunitas ini memakai istilah Pilot, Co-Pilot, Kapten, dll. Layaknya sebutan bagi awak pesawat, istilah inilah yang mereka pilih dengan filosofi mereka ingin kelak semua tuli di dunia berada di atas awan layaknya sebuah pesawat yang sedang mengudara. Semua orang akan melihat mereka berada di atas yang artinya kelak semua tuli bisa mendapatkan perhatian positif dari masyarakat.

Semua struktur keanggotaan DAC diisi oleh tuli. Sedangkan hearing yang tergabung dalam komunitas ini disebut volunteer atau relawan. Tugas mereka membantu DAC dalam setiap agenda yang sudah dijadwalkan. Hubungan antara tuli dan relawan DAC mampu terjalin erat karena tidak hanya saat ada kegiatan saja mereka saling bertukar pengalaman dan saling belajar.

Suara Hati
"Apa salah kami lahir di dunia, kami juga lahir dari buah cinta, sama sepertimu anak-anak Adam dan Hawa yang terlahir selalu tanpa dosa", berikut sebuah petikan puisi yang selalu mengiringi pementasan DAC. Puisi tersebut berawal dari sebuah cerita salah seorang tuli DAC bernama Arief. Dia bertanya kepada Pak Broto, "Mengapa di dunia ini ada ulat bulu?"

Pak Broto menjawab, "Karena Tuhan menciptakan ulat bulu."

puisi isyarat
Tidak puas dengan jawaban tersebut,  Arief kembali bertanya, "Kenapa orang takut dan jijik dengan ulat bulu?"

"Karena ulat bulu bisa membuat gatal", jawab Pak Broto.

"Pak, kami (tuli) ini seperti ulat bulu ya. Orang jijik melihat kami, takut mendekati kami, mungkin mereka jijik dan takut gatal ya Pak?", ungkap Arief.

"Jangan khawatir, kelak ulat bulu akan berubah menjadi kepompong dan kepompong akan berubah menjadi kupu-kupu cantik yang disukai semua orang", jawab Pak Broto.

Bermula dari kisah metamorfosis kupu-kupu, Arief tertarik untuk membuat sebuah cerita mengenai ulat bulu dan mengubahnya ke dalam sebuah puisi isyarat. Puisi yang senantiasa disajikan saat pementasan. Tujuannya agar masyarakat umum sadar, kelak dengan latihan yang sungguh-sungguh dan kepercayaan diri yang dimiliki teman-teman tuli, mereka akan bisa menjadi kupu-kupu yang disukai oleh semua orang. Maka tercipta lah puisi isyarat dengan judul "Aku ingin Menjadi Kupu-Kupu".

Kamu Bisa, Aku Bisa, Kita Sama
 DAC memiliki slogan Kamu Bisa, Aku Bisa, Kita Sama. Artinya semangat mereka tidak pudar meskipun mereka menyadari keterbatasan yang mereka mmiliki. Mereka percaya, jika orang normal bisa melakukan sesuatu, mereka (tuli) pun bisa melakukannya. Meskipun terkadang dengan cara yang berbeda tidak lah menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap berkarya.

Keanggotaan DAC terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung. Tidak saja untuk tuli, namun terbuka juga untuk hearing yang memiliki kepedulian terhadap isu disabilitas dan berkomitmen untuk menghormati budaya tuli. Hingga tahun 2014 ini, anggota DAC tuli mencapai sekitar 30 orang dan hearing sekitar 20 orang. 

Deaf Art Community
Sebuah kebersamaan yang memberikan ruang untuk selalu bersyukur dan saling menghormati adanya perbedaan, itulah Deaf Art Community. Mereka yang membagikan genggaman penuh cinta, bahkan mereka yang memberikan arti nilai kehidupan penuh rasa syukur. Gerakan tangan mereka bukalah isyarat tanpa makna, bukanlah tontonan sebelah mata, juga bukan sesuatu yang hina. Saat orang lain menganggap masalah kecil sebagai petaka, mereka tetap tersenyum penuh syukur di tengah keterbatasan.

Wednesday, October 1, 2014

Pertandingan Futsal antara Deaf Yogyakarta Futsal Club dengan SEMAR Futsal Club

 
Latihan futsal rutin yang diadakan oleh tim DYFC kali ini digunakan untuk pertandingan persahabatan dengan SEMAR FC. Pertandingan futsal yang diadakan Selasa malam, 30 September 2014 bertempat di Memed Chrome Futsal, Jogokaryan, Yogyakarta. Pertandingan yang berlangsung dari pukul 20.00 - 22.00 diikuti oleh 2 tim yakni DYFC (Deaf Yogyakarta Futsal Club) dengan SEMAR Futsal Club. DYFC merupakan tim futsal tuli Yogyakarta yang kerap mengadakan latihan rutin tiap Selasa malam. Sedangkan SEMAR Futsal Club merupakan tim futsal yang berasal dari Kulon Progo namun bukan tim tuli melainkan tim orang mendengar (hearing people).

Tim DYFC beranggotakan Henry, Samsu, Diki, Kiki, Fianto, Zakka, Arief, Rifki, Agus, Khalid, Topan, Rizky, dan Adhi dengan Henry dan Samsu sebagai penjaga gawang secara bergantian. Sedangkan tim SEMAR FC beranggotakan Basic, Ari, Patrick, Kiki, Andri, Rendy, Gurit, dan Arik. Pemain bergantian mengikuti pertandingan futsal dengan perintah dari pelatih futsal masing-masing tim. Pelatih tim futsal dari Yogyakarta bernama Mala sedangkan pelatih tim futsal dari Kulon Progo bernama Arik.

Selama 120 menit pertandingan, tercipta skor 17 - 12 untuk Yogyakarta. Pada 10 menit pertama, Diki, Khalid, dan Ahmad mencetak gol ke gawang tim Kulon Progo disusul oleh tim Kulon Progo mencetak gol oleh pemain bernama Basic, Ari, dan Patrick. Ada kejadian menarik yang terjadi selama pertandingan berlangsung, Kiki tim dari DYFC memasukkan gol ke gawang sendiri sebanyak satu kali sehingga sempat membuat teman-temannya tertawa dan jengkel. Namun kekesalan tim DYFC tidak berlangsung lama karena Adhi, Diki, Khalid, dan Zakka menambah skor dengan mencetak gol pada tengah pertandingan.

Hal menarik lainnya terjadi ketika wasit memberi peluang penalti untuk SEMAR FC karena Diki, tim DYFC terkena handball. Meski tim DYFC memprotes bahwa Diki tidak terkena handball, wasit tetap memberi penalti untuk SEMAR FC dengan bantuan saksi mata dari tim bangku cadangan SEMAR FC. Seharusnya wasit lah yang memberi keputusan dan saksi sendiri, bukan saksi lawan.

Pencetak gol dari tim DYFC adalah Diki sebanyak dua kali, Khalid sebanyak dua kali, Ahmad sebanyak dua kali, Zakka sebanyak empat kali, Adhi sebanyak lima kali, Rifki dan Agus masing-masing satu kali hingga skor akhir DYFC menjadi 17. Pencetak gol dari tim Kulon Progo adalah Patrick sebanyak lima kali, Arik dua kali, dan Basic, Gurit, Kiki, Rendy dan Andri  sebanyak satu kali hingga skor akhir SEMAR FC menjadi 12.

Pertandingan berakhir dengan ditandainya suara peluit dan lambaian tangan oleh wasit, yakni Wahyu Handoyo. Meskipun tim tuli bertanding dengan tim normal atau hearing person, tim tuli tetap percaya diri mampu memenangkan. Tujuan dari latihan rutin dan pertandingan ini diadakan selain untuk tetap menjaga kesehatan tubuh para pemain juga untuk menjalin tali silaturahmi antara tuli Yogyakarta dan sekitarnya.

Tuesday, September 23, 2014

Kelas Bahasa Isyarat



Kelas Bahasa Isyarat yang diadakan oleh Gerkatin (Gerakan Kesejahteraan untuk Tuli Indonesia) Jogja bekerja sama dengan Laboratorium Riset Bahasa Isyarat dan The Nippon Foundation sudah berjalan tiga kali pertemuan pada Senin, 22 September 2014. Kelas ini diselenggerakan di Sekolah Semangat Tuli (SST) yang beralamat di Jalan Langenarjan Lor no.16 A, Panembahan, Kraton, Yogyakarta. Kelas Bahasa Isyarat yang diajarkan oleh tuli asli Jogja yang bergabung dalam Deaf Art Community ini diadakan setiap hari Senin dan Kamis mulai pukul 16.00 -18.00 WIB dibagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama dimulai pukul 16.00 -17.00 dilanjutkan sesi dua pukul 17.00 -18.00.  Peserta yang datang ke dalam kelas ini mencapai 30 orang per sesi dengan beragam usia peserta dan latar belakang. Tidak hanya orang yang bisa mendengar saja yang ikut belajar bahasa isyarat, namun difabel tuli dan seorang difabel tuna daksa pun dengan khusuk mengikuti kelas ini.

Program kelas bahasa isyarat gratis ini sudah berjalan dari tahun 2011, namun kurikulum baru dimulai pada tanggal 15 September 2014 yang lalu. Ada 4 guru BISINDO (bahasa isyarat Indonesia) yang sudah mendapatkan pelatihan di Universitas Indonesia mengajar kelas bahasa isyarat, yakni Stephanie Kusuma Rahardja, Arief Wicaksono, Alim Hizbullah, dan Riski Purna Adi.

Materi awal kelas berisi alfabet bahasa isyarat, cara berkenalan, hari, dan warna. Setiap sesi pengajaran terdapat asisten pengajar yang membantu mengoreksi gerakan peserta kelas bahasa isyarat dan membantu pengajar saat sesi praktek. Sebelum memulai kelas bahasa isyarat, semua pengajar dan asisten pengajar mempersiapkan materi bersama dan juga melakukan simulasi mengajar satu hari sebelum kelas dimulai agar proses mengajar di kelas bisa lebih efektif.

"Tujuannya biar masyarakat umum bisa mengenal bahasa isyarat dan budaya tuli. Kalau mereka pergi ke daerah lain trus ketemu tuli lain, mereka bisa berkomunikasi. Belajar bahasa isyarat manfaatnya bisa komunikasi lancar sama teman-teman tuli", jelas Stephanie sebagai salah satu pengajar di kelas bahasa isyarat yang sekaligus menjabat sebagai ketua Gerkatin Jogja.

"Aku seneng bisa belajar bahasa isyarat, gratis pula. Kalo materinya sama dan diulang lagi gak jadi masalah untuk aku, soalnya aku juga belum bisa lancar pake bahasa isyarat. Materi yan diulang jadi bisa mengingatkan lagi pelajaran dulu yang banyak kelupaan."

Terdapat sebuah komputer di kelas untuk memfasilitasi peserta jika ingin membuka aplikasi kamus bahasa isyarat. Kamus bahasa isyarat tersebut berisikan video singkat gerakan dalam kata isyarat yang diperagakan oleh 4 orang dari daerah yang berbeda, yakni Jogja, Jakarta, Solo, dan Bandung. 

Setelah kelas bahasa isyarat usai, beberapa peserta tidak lantas pulang meninggalkan SST. Lima hingga sepuluh orang masih ingin belajar bahasa isyarat dan langsung berkomunikasi dengan tuli untuk memperlancar gerakan tangan mereka saat menggunakan bahasa isyarat. Mereka menyakini bahwa cara yang paling efektif untuk belajar bahasa isyarat adalah dengan berkomunikasi langsung dan mempraktekkannya.

Teman-teman tuli di SST berharap semakin banyak masyarakat umum yang mau datang belajar bahasa isyarat. Selain identitas tuli dengan bahasa isyaratnya lebih diterima masyarakat, mereka senang mendapatkan teman mendengar baru yang bisa mereka ajak untuk bertukar informasi.

Aksi Audiensi oleh Koalisi Kawal RUU Pilkada di depan Kantor DPR Yogyakarta




Aksi audiensi yang dilakukan oleh Koalisi Kawal RUU Pilkada berlangsung dari pukul 13.00 - 15.00 WIB pada hari Selasa, 23 September 2014 di depan kantor DPR Yogyakarta yang beralamatkan di Jalan Malioboro. Aksi yang dihadiri lebih dari 20 difabel ini berlangsung damai dengan pengawalan dari kepolisian. Terdapat juga kain putih yang terbentang di depan pintu masuk kantor DPR yang disediakan oleh kelompok aksi tersebut untuk ditandatangani oleh setiap orang di sekitar lokasi aksi yang ikut mendukung penolakan RUU Pilkada. Bagi yang berkenan memberikan tanda tangan sebagai wujud partisipasi dukungan, kelompok aksi koalisi kawal RUU Pilkada ini memberikan sekuntum bunga kertas berserta kertas bertuliskan, "Pilkada langsung sejatinya adalah esensi demokrasi. Karena itu, mengembalikan pilkada kepada DPRD berarti kemunduran dalam dua hal ; partisipasi politik rakyat dan demokrasi substansial. Jangan sampai kepentingan kekuasaan politik jangka pendek sekelompok orang, mengorbankan politik rakyat."

Pernyataan sikap yang dimunculkan pada aksi ini melibatkan berbagai kelompok, diantaranya : Perludem, ICW, TI Indonesia, IBC, FITRA, Correct, JPPR, KIPP Jakarta, PSHK-Puskapol FISIP UI, Pattiro, Yappika, Populi Center, KPPOD, Kopel, IPC, Rumah Kebangsaan, Or Voice, Satjipto Rahardjo Institute, Aceh STF, FIK Ornop, SUAK, Mata Aceh, Yasmib, MCRI, Dewan Guru Besar FE Unhas, GLK Aceh, MCW Jatim, Bem, PUSaKO FH Universitas Andalas, BEM FH Undip, PERMAHI Semarang, Dewa Orga Semarang, Komunitas Payung Semarang, PPDI DIY.

Beberapa orang yang datang mengikuti aksi ini pun mendapatkan selebaran berisikan pernyataan sikap.Berbagai kelompok masyarakat telah menyatakan secara terbuka bahwa keinginan para pengambil keputusan di DPR untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD adalah kemunduran bagi demokratisasi yang telah diupayakan dengan keras dan sungguh-sungguh selama reformasi ini. Oleh sebab itu, Koalisi Kawal RUU Pilkada menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Memilih pemimpin adalah hak konstitusional rakyat, yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara. Jika RUU Pilkada merenggut hal tersebut, berarti negara telah merampas dan merusak daulat rakyat sesungguhnya.
2. Rakyat harus menentukan sendiri pemimpinnya karena itulah hakikat dari demokrasi substansial.
3. Mekanisme pemilihan langsung (presiden/wakil presiden, kepada daerah/wakil kepada daerah, anggota legislatif) merupakan esensi partisipasi politik karena memberikan ruang yang luas bagi lahirnya pemuimpin-pemimpin baru pilihan rakyat.
4. DPR dan Pemerintah harus membuka lagi semua data dan perjalanan pemilihan keapda daerah secara langsung, yang terbukti 90% pilkada langsung berjalan damai.
5. Proses pemilihan kepada daerah secara langsung mendekatkan rakyat dengan calon pemimpinnya melalui penyelenggaraan tahapan pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil.
6. Proses pemilihan kepada daerah secara langsung lebih menjamin terpenuhinya layanan publik dan pembangunan di daerah yang berbasis pada pemahaman mengenai kebutuhan dan aspirasi warga daerah. Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi daerah yaitu partisipasi, akuntabilitas, dan demokrasi.
7. Jika yang dikhawatirkan adalah persoalan biaya penyelenggaraan, maka pelaksaan pilkada lebih efisien dengan cara serentak, yang telah disahkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi.
8. Pemerintah dan DPR harus menyadari bahwa praktik politik uang )jual beli suara) merupakan produk dari perlikau kebanyakan elite yang hendak menjadi pemimpin tetapi tidak berakar di masyarakat, bukan semata bersumber dari keinginan masyarakat.
9. Proses pilkada langsung membuat rakyat bisa menagih janji-janji pemimpinnya sehingga pemimpin akan lebih akuntabel dalam menjalankan pemerintahannya.

Para demonstran mengenakan tulisan aksi yang dikalungkan di leher mereka, betuliskan " Tidak perlu wakil untuk memilih kepada daerah". Untuk kawan-kawan yang juga ingin mendukung pilkada langsung, dapat mengakses informasinya di internet, dengan hastag #dukungpilkadalangsung atau dengan menandatangi petisi di www.change.org/dukungpilkadalangsung.

Pilkada langsung sejatinya adalah esensi demokrasi. Karena itu, mengembalikanpilkada kepada DPRD berarti kemunduran dalam dua hal : partisipasi politik rakyat dan demokrasi substansial. Jangan sampai kepentingan kekuasaan politik jangka pendek sekelompok orang. mengorbankan hak politik rakyat.

Saturday, September 13, 2014

Silaturahmi Gerkatin Bandung 2014

Gerkatin Bandung atau Gerakan untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia Bandung, mengadakan acara Silaturahmi Penyandang Tuna Rungu se-Indonesia pada hari Minggu, 31 Agustus 2014 di Soreang, Bandung. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 tuna rungu yang datang dari berbagai kota, termasuk dari Jogjakarta. Peserta yang hendak memasuki area silaturahmi, dikenakan biaya sebesar Rp 15.000,- untuk "nonton" dan Rp 15.000,- untuk mengikuti lomba. Nonton disini maksudnya adalah masuk ke arena silaturahmi. 

Wakil dari tuna rungu Jogja sebanyak 14 orang memilih untuk "nonton" acara tersebut. Setelah memasuki arena silaturahmi, kami bingung apa yang hendak kami lakukan di tempat tersebut. Siang ini sudah pukul 12.00 dan peserta silaturahmi masih berada di luar ruangan yang disediakan. Setelah Adhi, salah satu tuna rungu dari Jogja, bertemu dengan panitia, akhirnya kami menyadari bahwa acara silaturahmi ini hanya sebagai ajang berkumpul dan mengobrol, tanpa acara pembukaan dan penutupan layaknya acara formal yang biasa diadakan di Gerkatin Jogja.

Pada acara silaturahmi yang diadakan Gerkatin Bandung ini, tidak ada rundown acara yang jelas. Salah satu panitia bercerita kepada teman-teman Geraktin Jogja bahwa mereka tidak biasa mengadakan acara sehingga tidak berpengalaman untuk membuat acara resmi. Panitia juga memin
ta saran kepada Adhi tentang bagaimana cara membuat acara agar tidak terkesan membosankan dan membuang waktu.

Panitia menyadari kurangnya pengalaman dan juga persiapan dari panitia untuk mengadakan acara. Panitia mengatakan bahwa sejak tahun 2001, kepengurusan Gerkatin Bandung mulai berturun kwalitasnya dikarenakan tidak adanya sharing informasi dari senior kepada penerusnya. ketidakpahaman mereka mengingatkan saya pada peran masyarakat dan juga pemerintah. Jika saya bandingkan dengan masyarakat di Jogja yang sudah lebih inklusif, menjadi hal yang wajar jika kwalitas pengetahuan tuna rungu di Jogja lebih baik daripada di Bandung, minimal dari segi mengadakan acara. Banyaknya LSM di Jogja pun secara tidak langsung membuat masyarakat Jogja memiliki kepekaan terhadap keberadaan masyarakat difabel yang ada di Jogja.

Setelah 30 menit seorang panitia berbincang dengan bahasa isyarat dengan Gerkatin Jogja, kami memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanan. Semoga Gerkatin Bandung bisa mengadakan acara silaturahmi lagi dengan persiapan yang lebih matang.

Panitia Gerkatin Bandung

Gerkatin Jogja

Thursday, September 11, 2014

Syawalan dan Pemilihan Ketua Gerkatin Jogja 2014


 Gerkatin atau Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia mengadakan acara syawalan sekaligus pemilihan ketua Gerkatin yang baru tahun 2014-2019 pada hari Minggu, 24 Agustus 2014 di BPO atau Balai Pemuda dan Olahraga yang bertempat di utara alun-alun selatan kota Jogja. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 90 tuna rungu yang mayoritas berdomisili Yogyakarta. Namun tidak menutup kesempatan tuna rungu dari luar Jogja seperti Solo, Magelang dan Purworejo untuk datang.

Acara dimulai pada pukul 09.00 - 12.00 WIB. rangkaian acara tersebut adalah pembukaan dari Wakil Ketua Geraktin Jogja dan sambutan dari Ayut selaku Dewan Pembina Organisasi di Gerkatin Jogja. Acara inti pada siang hari itu adalah pemilihan ketua Gerkatin yang baru. Meskipun tidak dihadiri oleh ketua Gerkatin sebelumnya, acara ini tetap berlangsung meriah. Ada dua nominasi ketua Gerkatin Jogja, yakni Stefani Kusuma Rahardja yang akrab dipanggil Fani dan Riski Purna Adi yang akrab dipanggil Kiki.

Fani lebih dulu memperkenalkan diri kepada semua tamu. Gadis yang telah menyelesaikan studi D1 di STSRD Yogyakarta ini menyampaikan visi misi yang akan dia jalankan jika ia terpilih sebagai ketua Gerkatin yang baru. Dia ingin membangun Gerkatin menjadi organisasi yang aktif dan lebih baik daripada periode sebelumnya yang nyaris mati suri.

Sedangkan Kiki mengutarakan rencana program yang ingin dia jalankan jika ia terpilih menjadi ketua Gerkatin tahun ini, yakni mengadakan pertandingan futsal secara rutin untuk membangun persaudaraan dan wujud silaturahmi tuna rungu di Jogja. Kedua kandidat belum menyampaikan program detail yang akan dijalankan jika mereka terpilih sebagai ketua Gerkatin, namun lebih banyak memperkenalkan diri beserta pengalaman yang sudah mereka dapatkan.

Fani memperkenalkan diri bahwa dia pernah menempuh kuliah S1 di Universitas Sanata Darma hingga semester 5 dia memutuskan untuk keluar karena menemui banyak hambatan saat di bangku perkuliahan. Gadis bermata sipit ini menceritakan pengalamannya mengikuti seminar di Swiss dan New York pada tahun 2013. Tidak hanya itu, dia sering mengikuti seminar di Jogja atas undangan dari beberapa LSM difabel seperti SIGAB dan ASB. 


Kiki juga memperkenalkan diri bahwa kini dia sedang menempuh kuliah S1 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Ilmu Perpustakaan angkatan 2013. Laki-laki berusia 24 tahun ini menceritakan pengalaman organisasinya sebagai anggota Deaf Art Community dan banyak mengikuti pentas. Selain itu Kiki mengikuti perkumpulan futsal tuna rungu Jogjakarta atau DYFC.


Setelah kedua kandidat memperkenalkan diri, Ayut memimpin sidang pemilihan ketua Gerkatin. Hal yang menarik dari proses pemulihan ini adalah tidak ada rahasia atas siapa yang mereka pilih. Seluruh peserta yang hadir dipersilahkan mengangkat tangan untuk memilih Fani atau Kiki dan kemudian panitia menghitung jumlah tangan yang terangkat. Meskipun ada beberapa tangan usil yang mengangkat tangannya dua kali, itu tidak dipermasalahkan oleh panitia. Tidak sampai 5 menit, semua peserta syawalan sudah mengetahui bahwa Fani terpilih menjadi ketua Gerkatin yang baru.

Terdapat 90 suara yang mempercayakan jabatan ketua Gerkatin kepada Fani dan 27 suara untuk Kiki. jabatan ketua Gerkatin kini di tangan Fani dan Kiki menjadi wakil ketua Gerkatin. Fani menyampaikan ucapan terima kasih untuk dukungan yang diberikan serta memohon kerja sama dari teman-teman semua untuk membantu menyusun program dan menjalankannya agar Gerkatin Jogja bisa menjadi lebih maju dan aktif menyejahterakan tuna rungu di Jogja.

Selesai acara pemilihan ketua Gerkatin periode 2014-2019, panita mengadakan game berhadiah. game ini diikuti secara meriah oleh semua tamu yang hadir. Pada akhir game juga terdapat lomba pantomim yang diikuti oleh 4 peserta. Wahyu sebagai pemenang game pantomim mendapat tepuk tangan meriah dan hadiah sebesar Rp 50.000,- dari panitia.

Acara ditutup dengan melafalkan hamdalah dan saling bersalaman. Panitia menyampaikan harapannya agar silaturahmi keluarga tuna rungu bisa terus berlangsung setiap tahun. Semoga dengan terpilihnya Fani sebagai ketua Geraktin dan Kiki sebagai Wakil Ketua Gerkatin periode 2014-2019, organisasi ini bisa menjadi lebih maju.