Translate

Thursday, October 2, 2014

Deaf Art Community, sebuah komunitas seni tuli dengan semangat inklusi

Semua orang berhak untuk saling berinteraksi, berkomunikasi, dan mendapat informasi. Beragam cara dapat dilakukan untuk melakukan hal tersebut, normalnya ada dua hal yang dominan dalam berkomunikasi, yaitu suara dan visual. Namun tidak semua orang memiliki kedua hal tersebut.

Selama ini teman-teman tuli sering mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang (pendidikan, lapangan kerja, transportasi umum, dll) yang berimbas pada tertutup dan hilangnya kesematan tuli untuk beraktualisasi dan menunjukkan peran di dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kurangnya akses informasi dan ketiadaan sarana komunikasi universal yang dapat diakses bersama secara setara oleh mereka dan hearing people atau orang-orang yang bisa mendengar.

Tuli atau kesulitan mendengar tidak menjadikan teman-teman Deaf Art Community menjadi hilang kepercayaan diri. Mereka yang tergabung dalam sebuah komunitas seni tuli atau lebih dikenal sebagai Deaf Art Community (DAC) tetap semangat menjalani aktivitas harian mereka seperti sekolah, kuliah, bahkan ada yang sudah bekerja. DAC memiliki sebuah rumah singgah atau bascamp di Jalan Langenarjan Lor no.16 A, Panembahan, Kraton, Yogyakarta.

DAC dibentuk sebagai suatu wadah bagi komunitas tuli dan orang mendengar untuk berkumpul dan berinteraksi dengan menggunakan metode bahasa isyarat. Sehingga mereka bersama-sama bisa bersinergi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu hilangnya batas komunikasi.

DAC menjadi komunitas yang bisa menjadi tempat bagi tuli dan orang mendengar untuk saling belajar, berkreasi, berkarya, dan bersinergi bersama-sama. DAC berdiri pada tanggal 28 Desember 2004 atas dasar prakarsa dari Komunitas Tuna Rungu Yogyakarta yang pada waktu itu tergabung dalam komunitas Matahariku.

Kegiatan Rutin DAC
1. Sekolah Semangat Tuli (SST)

Sekolah tidak harus terdaftar secara formal dan administratif. Sekolah adalah tempat untuk belajar, mendapatkan ilmu baru, dan berbagi dengan sesama. SST didirikan sebagai wadah bagi teman-teman tuli dan orang mendengar mengasah kemampuan bahasa isyarat, berinteraksi, dan saling belajar. Selain ilmu yang didapat akan lebih beragam, mereka mencoba menghapus jurang pemisah antara tuli dan orang mendengar. Mereka beranggapan diskriminasi terjadi ketika mereka bersikap tertutup, oleh karemanya mereka mencoba terbuka terhadap masyarakat umum.

kelas bahasa isyarat
Setiap hari Senin dan Kamis mulai pukul 16.00 - 18.00 WIB, mereka membuka Kelas Bahasa Isyarat yang dibuka untuk umum. Kelas Bahasa Isyarat ini tidak dipungut biaya alias gratis. Pengajar kelas ini sudah mendapatkan pelatihan dari Laboratorium Riset Bahasa Isyarat di Universitas Indonesia. Mereka adalah Stephanie Kusuma Rahardja, Arief Wicaksono, Alim Hizbullah, dan Riski Purna Adi. Pada setiap sesi juga terdapat dua asisten pengajar yang membantu mengoreksi kata isyarat yang dipelajari oleh murid kelas Bahasa Isyarat.

Dalam komunitas ini, seluruh anggotanya menggunakan Bahasa Isyarat untuk saling berinteraksi. Termasuk juga hearing people yang ikut berkecimpung di dalam komunitas ini. Selain bertujuan untuk memperkenalkan budaya tuli, komunitas ini juga ingin mendukung BISINDO atau Bahasa Isyarat Indonesia untuk diakui oleh pemerintah Indonesia karena BISINDO merupakan bahasa asli yang dibuat oleh, dari, dan untuk tuli.

2. Waroeng Toeli

DAC sebuah komunitas seni tuli yang kerap melakukan berbagai macam aktivitas kreatif, seperti bermusik, melukis, teater, break dance, hingga puisi visual. Tak hanya itu, mereka pun memproduksi kaos, pin, gelas, dan merchandise lainnya. Semuanya mereka lakukan secara mandiri, mulai dari tahap desain hingga pemasaran. Aktivitas tersebut mereka lakukan di Waroeng Toeli (WT).

3. Difabel for Cancer

Berbagi tak pernah rugi. Semangat inilah yang menginspirasi mereka memproduksi pin bertuliskan Difabel for Cancer (difabel peduli kanker). Pin yang mereka produksi secara mandiri dari proses desain hingga pemasaran ini dijual dengan harga Rp 5.000,- dan 100% hasil penjualan mereka sumbangkan ke Yayasan Kasih Anak Kanker Jogja. Salah satu bentuk kepedulian dengan sesama. Meskipun mereka memiliki keterbatasan mendengar, namun mereka masih memiliki kepedulian kepada penyandang kanker.

4. Pembuatan Film
Iklan Layanan Masyarakat atau ILM dibuat oleh DAC bekerjasama dengan tim pembuatan film dari Kluwung Indonesia. Film yang berisikan pesan kepada orang tua yang memiliki anak tuli bahwa mereka memiliki hak untuk bergaul dan bersosialisasi dengan masyarakat umum. Jangan melarang anak tuli untuk belajar di luar rumah dan mengasah kemampuan mereka bersama teman-teman yang lain karena dengan mendukung aktivitas positif anak, potensi yang ada dalam diri mereka mampu berkembang lebih baik.

5. Latihan Pementasan
Sebelum pementasan, tim DAC biasa berlatih di halaman SST. Setiap rabu sore juga rutin diadakan latihan bermain jimbe, alat musik yang dapat mereka dengarkan melalui getaran yang dihasilkan. Ada dua anggota DAC yang sudah cakap memainkan jimbe yakni Diki dan Wahyu. Mereka mendapatkan latihan dasar memaikan jimbe dari salah seorang mahasiswa di Jogja yang dengan ikhlas membagikan ilmunya. Seiring berjalannya waktu, Diki dan Wahyu sudah bisa mandiri menciptakan irama-irama baru.

Latihan lainnya seperti teater, pantomim, puisi Bahasa Isyarat, dan hip hop juga biasa diadakan di halaman SST. Ide dasar teater dan pantomim muncul dari tuli DAC dan kemudian berlatih bersama Pak Broto yang juga menjadi pembina dalam komunitas ini. Puisi isyarat merupakan curahan hati tuli di DAC yang dituangkan ke dalam sebuah puisi isyarat. Puisi yang sudah dibuat berjudul "Adam dan Hawa" dan "Sekolah Inklusi".

Tuli DAC juga mampu menunjukkan bakat tari mereka, dalam hal ini hip hop. Mereka memilih hip hop karena sesuai dengan musik yang dapat mereka dengar, yakni beatbox. Suara yang keluar dari mulut teman-teman Beatboxing of Jogja mampu membuat dada teman-teman bergetar sehingga mereka dapat mengikuti temponya. Gerakan hip hop yang mereka kuasai berkat latihan rutin yang awalnya dibimbing oleh salah seorang mahasiswa di Jogja. Namun kini mereka mampu menciptakan gerakan baru secara mandiri dengan bantuan youtube.

6. DAC Goes to School

Dengan mengusung tema "Berbagi Semangat dengan Sesama", DAC mengunjungi sekolah-sekolah, khususnya sekolah inklusi. Kesenian tetap menjadi landasan kegiatannya dan bekerjasama dengan Beatboxing of Jogja dan Wadyo Bolo di setiap pementasan. Cerita utama yang mereka usung adalah "Aku Ingin Menjadi Kupu Kupu" yang merupakan gagasan dari salah seorang anggota DAC.

DAC Goes to School
Saat ini DAC telah menjalin relasi dengan sejumlah sekolah dan universitas yang ada di Yogyakarta. Lewat kunjungannya, banyak penonton dan instansi yang tertarik terhadap budaya tuli, salah satunya adalah Bahasa Isyarat. Tak jarang pula usai ementasan banyak orang tua yang berkonsultasi mengenai anaknya yang tuli atau para akademisi yang harus menghadapi teman-teman tuli.

Mulai dari Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Malang, Makassar, hingga Lombok sudah mereka datangi untuk pementasan dan seminar. Dua anggota DAC pun pernah mendapat undangan dari Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menjadi pembicara di Swiss dan New York pada tahun 2013.

7. Ulang Tahun DAC

Acara ini rutin diselenggarakan setiap tanggal 28 Desember. Dalam acara ini mereka menunjukkan pementasan dari hasil karya mereka. Konsep yang mereka usung selalu berbeda setiap tahunnya. Dalam kesempatan ulang tahun ini, DAC menyumbangkan hasil penjualan pin Difabel for Cancer yang sudah digalang setiap tahun.

Keanggotaan DAC
Istilah ketua yang biasa digunaan dalam struktur kepengurusan, tidak berlaku di DAC. Komunitas ini memakai istilah Pilot, Co-Pilot, Kapten, dll. Layaknya sebutan bagi awak pesawat, istilah inilah yang mereka pilih dengan filosofi mereka ingin kelak semua tuli di dunia berada di atas awan layaknya sebuah pesawat yang sedang mengudara. Semua orang akan melihat mereka berada di atas yang artinya kelak semua tuli bisa mendapatkan perhatian positif dari masyarakat.

Semua struktur keanggotaan DAC diisi oleh tuli. Sedangkan hearing yang tergabung dalam komunitas ini disebut volunteer atau relawan. Tugas mereka membantu DAC dalam setiap agenda yang sudah dijadwalkan. Hubungan antara tuli dan relawan DAC mampu terjalin erat karena tidak hanya saat ada kegiatan saja mereka saling bertukar pengalaman dan saling belajar.

Suara Hati
"Apa salah kami lahir di dunia, kami juga lahir dari buah cinta, sama sepertimu anak-anak Adam dan Hawa yang terlahir selalu tanpa dosa", berikut sebuah petikan puisi yang selalu mengiringi pementasan DAC. Puisi tersebut berawal dari sebuah cerita salah seorang tuli DAC bernama Arief. Dia bertanya kepada Pak Broto, "Mengapa di dunia ini ada ulat bulu?"

Pak Broto menjawab, "Karena Tuhan menciptakan ulat bulu."

puisi isyarat
Tidak puas dengan jawaban tersebut,  Arief kembali bertanya, "Kenapa orang takut dan jijik dengan ulat bulu?"

"Karena ulat bulu bisa membuat gatal", jawab Pak Broto.

"Pak, kami (tuli) ini seperti ulat bulu ya. Orang jijik melihat kami, takut mendekati kami, mungkin mereka jijik dan takut gatal ya Pak?", ungkap Arief.

"Jangan khawatir, kelak ulat bulu akan berubah menjadi kepompong dan kepompong akan berubah menjadi kupu-kupu cantik yang disukai semua orang", jawab Pak Broto.

Bermula dari kisah metamorfosis kupu-kupu, Arief tertarik untuk membuat sebuah cerita mengenai ulat bulu dan mengubahnya ke dalam sebuah puisi isyarat. Puisi yang senantiasa disajikan saat pementasan. Tujuannya agar masyarakat umum sadar, kelak dengan latihan yang sungguh-sungguh dan kepercayaan diri yang dimiliki teman-teman tuli, mereka akan bisa menjadi kupu-kupu yang disukai oleh semua orang. Maka tercipta lah puisi isyarat dengan judul "Aku ingin Menjadi Kupu-Kupu".

Kamu Bisa, Aku Bisa, Kita Sama
 DAC memiliki slogan Kamu Bisa, Aku Bisa, Kita Sama. Artinya semangat mereka tidak pudar meskipun mereka menyadari keterbatasan yang mereka mmiliki. Mereka percaya, jika orang normal bisa melakukan sesuatu, mereka (tuli) pun bisa melakukannya. Meskipun terkadang dengan cara yang berbeda tidak lah menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap berkarya.

Keanggotaan DAC terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung. Tidak saja untuk tuli, namun terbuka juga untuk hearing yang memiliki kepedulian terhadap isu disabilitas dan berkomitmen untuk menghormati budaya tuli. Hingga tahun 2014 ini, anggota DAC tuli mencapai sekitar 30 orang dan hearing sekitar 20 orang. 

Deaf Art Community
Sebuah kebersamaan yang memberikan ruang untuk selalu bersyukur dan saling menghormati adanya perbedaan, itulah Deaf Art Community. Mereka yang membagikan genggaman penuh cinta, bahkan mereka yang memberikan arti nilai kehidupan penuh rasa syukur. Gerakan tangan mereka bukalah isyarat tanpa makna, bukanlah tontonan sebelah mata, juga bukan sesuatu yang hina. Saat orang lain menganggap masalah kecil sebagai petaka, mereka tetap tersenyum penuh syukur di tengah keterbatasan.

No comments:

Post a Comment