Translate

Monday, December 29, 2014

Komunitas Seni Tuli Merayakan Ulang Tahun ke-10

Deaf Art Community (DAC) atau sebuah komunitas seni tuli yang beralamat di Jalan Langenarjan Lor No.16 A merayakan ulang tahun ke-10 pada Minggu, 28 Desember 2014 di sebuah angkringan bernama Angkringan Toeli. Angkringan yang berlokasi di Kuliner Pringwulung Jogja ini menjadi tempat perayaan ulang tahun DAC ke-10 karena anggota DAC latihan bekerja di sini pada sore hingga malam hari.
Tidak hanya difabel tuli saja yang datang malam itu. Sejak pukul 16.00 WIB, Angkringan Toeli sudah kedatangan tamu juga dari keluarga dan kerabat DAC. Acara yang selesai pukul 22.00 WIB ini kedatangan pengunjung sekitar 150 orang. Senior DAC juga datang ikut meramaikan acara.
Acara ini dimulai dengan berdoa bersama serta memperkenalkan diri di lantai 2. Perkenalan diri menjadi penting karena tidak semua tamu yang datang saling mengenal. Beberapa tuli ada yang datang dari Solo dan Bekasi khusus untuk ulang tahun DAC sekaligus untuk silaturahmi karena sudah lama tidak berkumpul bersama.
"Saya senang DAC kini sudah memasuki umur yang ke-10. Saya juga bangga sudah banyak tuli yang bisa keluar negeri seperti Hongkong, Swiss, dan New York. Ini membuktikan bahwa tuli punya kemampuan yang bisa jadi melibihi orang normal seperti Broto yang masih tetap di Bantul", canda Broto salah satu pendiri DAC saat memberikan sambutan.
Adhi sebagai pilot DAC angkatan pertama menambahkan, "Dulu sebelum muncul DAC tahun 2004, belum banyak tuli yang bisa kuliah seperti sekarang. Banyak tuli yang masih malu ngobrol dengan teman normal bahkan banyak diam di rumah. Sejak ada DAC, tuli jadi mengenal teater, hip hop, Bahasa Isyarat, dan juga puisi Isyarat. Sekarang tuli sudah berkemang percaya dirinya dan harus bisa terus percaya diri dengan identitasnya."
Kesan Adhi mengenai DAC juga direspon oleh Hafidh yang baru mengenal DAC tahun 2010. "Dulu aku belajar Bahasa Isyarat dari kamus di SLB dan banyak bingung. Tahun 2010 aku diajak temanku nonton pentas DAC di Taman Budaya dan mengenal teman tuli baru. Aku juga belajar Bahasa Isyarat Indonesia dari DAC. Terima kasih."
Setelah ramah tamah di lantai 2, semua tamu turun menyaksikan Diki dan Wahyu bermain alat musik jimbe. Mereka ingin membuktikan bahwa tuli bukan halangan untuk merasakan musik. Mereka mendengarkan musik tidak dengan telinga, namun dengan detak jantung. Zakka, Diki, Arief, Ahmad, dan Kiki juga menampilkan hip hop dance diiringi oleh musik dari Beatboxing of Jogja. Gerimis tidak menghalangi semangat mereka untuk menari. Perasaan bahagia bisa berkumpul bersama menjadi semangat mereka untuk menari.
Puncak acara ditandai dengan pemotongan tumpeng dan makan bersama. Ada 8 macam nasi kucing, ceker, kepala ayam, tahu bacem, tempe bacem, sate telur, sate sosis, arem-arem gudeg, sate nugget, teh dan jahe yang menjadi sajian untuk semua tamu yang hadir.

Tuesday, December 9, 2014

Saudara yang Mengajarkan Senyum Tanpa Pamrih

        Jenuh. Inilah yang aku rasakan saat memasuki semester akhir menjadi mahasiswa, alias saat
mengerjakan skripsi. Sudah tidak ada lagi kesibukan organisasi di kampus dan kerja paruh waktu yang dulu sering menyita waktuku. Aku memang harus fokus menyelesaikan skripsiku, namun bosan rasanya dengan kegiatan yang itu-itu saja. Aku putuskan untuk pergi berlibur selama 3 hari di sebuah desa di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Menikmati perjalanan dengan menggunakan bus ekonomi hingga basah kuyup kehujanan pun tidak membuatku hilang semangat untuk segera sampai di rumah temanku. Sesampainya di sana, temanku mengajakku menikmati udara pagi sembari berjualan tempe di pasar.

       Saat siang hari, kami berbincang santai di teras depan rumahnya. Aku bermain HP dan membuka sebuah jejaring sosial, twitter. Muncul satu tautan berisi video sebuah komunitas tuli di Jogja yang sontak membuatku tertarik. Melihat profil video komunitas tersebut, aku segera mencari informasi mengenai beradaan komunitas itu yang kebetulan berasal dari Jogja, tempatku menempuh studi S1. Terlihat jelas bagaimana pemain dalam video tersebut mencoba berbicara namun tidak dengan suara, melainkan dengan tangannya. Mereka menggunakan Bahasa Isyarat. Tak terasa aku menyunggingkan senyum, senyum bahagia karena akhirnya aku tahu apa yang aku inginkan. Aku ingin mengenal Bahasa Isyarat.

      Awalnya aku masih merasa ragu untuk datang ke Benteng Vredebung Jogja, tempat komunitas tuli tersebut mengadakan pementasan. Ragu karena tak pernah sebelumnya aku mengenal dunia tuli. Memang ada perasaan khawatir saat aku melangkahkan kaki memasuki ruangan pameran komunitas. Aku khawatir tidak bisa menjalin komunikasi baik dengan mereka. Selain karena aku tak pernah mengenal Bahasa Isyarat, aku juga khawatir mereka akan tersinggung jika aku salah bertindak. Salah seorang panitia pada acara tersebut adalah temanku saat dulu aku bekerja paruh waktu. Dia mengantarkanku berkenalan dengan salah seorang relawan komunitas tuli bernama Marlita. Marlita terlihat sangat ramah dengan senyum sederhananya. Dia memberiku sebuah alamat tempat biasa komunitas tuli berkumpul dan belajar bersama. Satu hal yang membuatku makin bersemangat kala itu adalah, basecamp komunitas tuli di sana membuka kelas Bahasa Isyarat gratis yang dibuka untuk umum!

      Hanya berselang satu hari, aku langsung datang menuju alamat yang diberikan oleh Marlita. Sesampainya di lokasi, aku bertemu dengan seorang relawan yang mengantarkanku berkenalan dengan teman-teman tuli. Canggung rasanya menggerakan tanganku untuk mengikuti gerakan tangan mereka mengisyaratkan beberapa kata. Awalnya aku hanya terdiam memandang proses belajar di kelas. Tidak ada teman berbincang saat itu karena semua peserta dan guru di kelas itu tuli, tidak bisa mendengar. Aku pun hanya terdiam, tak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Setelah kelas Bahasa Isyarat pertamaku usai, teman-teman tuli mengajakku berbincang dan memberiku sebuah nama isyarat. Meskipun kami masih banyak berkomunikasi secara tertulis, aku merasa sangat senang karena sudah diberi nama isyarat dan juga pengetahuan baru yang sudah lama aku minati, Bahasa Isyarat. 

     Aku bertekad untuk terus belajar Bahasa Isyarat, termasuk juga belajar budaya tuli. Semua teman-teman tuli menerimaku dengan ramah dan terbuka. Kerap kali mereka mengajakku makan malam bersama seusai kelas Bahasa Isyarat dan mengajakku menonton pementasan mereka. Dari pementasan itulah, aku menjadi semakin kagum dan ingin lebih mengenal komunitas tuli yang bernama Deaf Art Community itu.

      Tidak aku sangka, mereka yang memiliki keterbatasan mendengar masih bisa menikmati hidup ini serasa tanpa beban. Senyum bersahabat selalu mereka lontarkan kepadaku saat aku mengatakan pementasan mereka luar biasa. Ya, luar biasa. Meskipun mereka tidak bisa mendengar dengan telinga, namun mereka bisa mendengar melalui detak jantung mereka. Terbukti dengan adanya dua personil Deaf Art Community (DAC) yang mampu memainkan alat musik jimbe dengan tempo yang seirama. Seluruh personil DAC pun mampu menari hip-hop dengan gerakan yang seirama dengan suara dari Beatboxing of Jogja. Teman-teman tuli masih bisa merasakan getaran dari suara yang dihasilkan Beatboxing of Jogja, inilah yang menuntun mereka mampu menari hip-hop.

       Tidak hanya tarian hip-hop saja yang mampu mereka suguhkan pada saat pementasan. Mereka juga menampilkan puisi Bahasa Isyarat, puisi yang mereka ciptakan bersama sebagai bentuk curahan hati. Dalam puisi tersebut mereka bercerita, "Apa salah kami lahir di dunia? Kami juga lahir dari buah cinta, sama sepertimu anak-anak Adam dan Hawa yang terlahir selalu tanpa dosa. Sempurna, adalah kata yang sangat menyakitkan, seperti tombak yang kau tusuk dalam ingatan. Pandangan sinismu buat semangatku berantakan, terpaan cacian timbulkan jurang perbedaan. Anak-anak lain bisa melihat dan mendengar. Rasa sempurna seenaknya terus berkoar, diskriminasi terjadi pada kami yang tuli karena bahasa tubuhlah yang dapat kami mengerti."

      Mereka mampu memotivasi hidupku untuk lebih bersyukur dan tidak banyak berkeluh kesah. Banyak manusia yang malu menatap diri di cermin, di saat teman-teman tuli mampu tersenyum diantara keterbatasan. Mereka bergerak seakan menantang dunia. Menunjukkan bahwa mereka bukan hanya isyarat tanpa makna. Mereka bahkan menyambut semua pandangan sebelah mata dengan prestasi tanpa ujung lelah. Seperti halnya puisi yang mereka ciptakan, aku ingin ikut berlari dalam setiap dentuman semangat mereka. Mereka tak hanya sahabat, tapi juga saudara yang mengajarkan senyum tanpa pamrih. Mereka yang membagikan genggaman penuh cinta, bahkan mereka yang memberi arti nilai kehidupan penuh rasa syukur.

      Semua manusia, tiada yang sempurna. Indahnya dunia, pasti selalu ada. Terus berusaha dan berani mencoba, syukuri nikmati-Nya atas karunia. Keterbatasan tak menjadi halangan untuk raih mimpi dan masa depan. Biarkan orang lain yang selalu menghina seperti tak punya dosa. Terus berusaha hingga mampu melewatinya karena aku percaya, kita satu penuh cinta.


PENTAS DAC TAHUN 2012

KELUARGA BESAR DAC