Dalam
rangka memperingati Hari Difabel Internasional yang diperingati setiap tanggal
3 Desember, SIGAB menyelenggarakan acara Temu Inklusi yang dilaksanakan selama
3 hari, 19-21 Desember 2014 di Desa Sendangtirto, Berbah, Sleman. Sabtu, 20
Desember 2014 terdapat 8 wokshop yang diakan secara bersamaan.Salah satunya workshop Pendidikan Inklusi
bertempat di SLB Kencana 2 Berbah, Sleman yang dimulai pada pukul 09.00-12.00. Workshop
ini diikuti oleh 40 orang dengan latar belakang dan daerah yang berbeda-beda.
Pak Setia Adi Purwanta, seorang difabel netra berlaku sebagai pembicara pada kesempatan
ini.
Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah seyogyanya semua
anak dapat belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang
ada pada mereka. Konsep pendidikan inklusif mendapat penerimaan yang baik di
berbagai Negara karena semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak didiskriminasi
dan memperoleh pendidikan yang bermutu dan semua anak mempunyai kemampuan untuk
mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan difabilitasnya. Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan
mutu pembelajaran bagi semua anak serta sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk
belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda pun menjadi alas an diterimanya
konsep pendidikan inklusif di berbagai negara.
Dengan adanya dukungan yang baik dari pemerintah,
maka di berbagai daerah banyak bermunculan sekolah yang berlabel sekolah inklusi.
Di satu sisi hal ini merupakan sesuatu yang menggembirakan karena akan meningkatkan
kesempatan bagi anak difabel untuk mengenyam pendidikan. Namun di sisi lain ketika
kita melihat penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang telat mempunyai label
inklusi, hal yang menggembirakan tersebut berubah menjadi menyedihkan. Berbagai
persoalan masih terlihat di sana sini. Mulai dari masalah aksesibilitas bangunan
sekolah dan bahan ajar, asesmen, modifikasi kurikulum, kualitas guru
pendamping, system penilaian sampai dengan pelibatan orang tua siswa. Bahkan
yang lebih menyedihkan lagi ada beberapa sekolah berlabel inklusi justru menolak
atau mengeluarkan siswa difabel dari sekolahnya.
Upaya memperbanyak sekolah yang berlabel sekolah inklusif
tanpa dibarengi dengan peningkatan layanan kepada siswa difabel akan sangat merugikan
bagi anak difabel karena siswa difabel di sekolah inklusi akan merasa pada lingkungan
asing dan kurang bersahabat, siswa difabel
tidak dapat mengikuti pelajaran secara maksimal, serta akan memperkuat padangan siswa non
difabel bahwa siswa difabel memang bodoh, terbelakang, hanya mengganggu, dll. Hal ketiga
ini justru jauh lebih berbahaya disbanding dua hal sebelumnya.
Melihat adanya kesenjanganan antara konsep dan realita
yang terjadi di lapangan maka perlu dicari upaya pemecahan agar
prasangka-prasangka negative terhadap anak-anak difabel tidak justru ditumbuhkan
di dunia pendidikan, yang seharusnya dapat menuntut siswa lebih mengasah sisi kemanusiaan
dan menyiapkan siswa menjadi manusia-manusia yang penuh bermartabat.
Tujuan dari kegiatan ini untuk mengidentifikasi berbagai
persoalan yang dialami dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah inklusi dan menyusun
rekomendasi perbaikan perbaikan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Workshop yang diikuti oleh 40 peserta ini dibagi menjadi
dua kelompok diskusi. Kedua kelompok merumuskan permasalahan di pendidikan inklusi
serta rekomendasi dan solusi. Beberapa kesulitan yang dialami peserta didik difabel
tuli antara lain sulit memahami kalimat pada materi belajar di sekolah,
sulitnya komunikasi, kurangnya guru pendamping khusus dan kurikulum yang
diterapkan di sekolah tidak mengakomodir anak berkebutuhan khusus.
Peserta didik tuli mengharapkan metode belajar di
sekolah harus bilingual agar mempermudah tuli mengakses materi pelajaran. Mereka
juga berharap pemerintah lebih bertanggungjawab mensosialisasikan kepada seluruh
sekolah di Indonesia bahwa kemampuan dari setiap anak berkebutuhan khusus bias dikembangkan.