Translate

Tuesday, March 17, 2015

Difabel Tuli Desak Pemerintah Menerapkan Sistem Pembelajaran Bilingual

Dalam rangka memperingati Hari Difabel Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember, SIGAB menyelenggarakan acara Temu Inklusi yang dilaksanakan selama 3 hari, 19-21 Desember 2014 di Desa Sendangtirto, Berbah, Sleman. Sabtu, 20 Desember 2014 terdapat 8 wokshop yang diakan secara  bersamaan.Salah satunya workshop Pendidikan Inklusi bertempat di SLB Kencana 2 Berbah, Sleman yang dimulai pada pukul 09.00-12.00. Workshop ini diikuti oleh 40 orang dengan latar belakang dan daerah yang berbeda-beda. Pak Setia Adi Purwanta, seorang difabel netra berlaku sebagai pembicara pada kesempatan ini.
Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah seyogyanya semua anak dapat belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang ada pada mereka. Konsep pendidikan inklusif mendapat penerimaan yang baik di berbagai Negara karena semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak didiskriminasi dan memperoleh pendidikan yang bermutu dan semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan difabilitasnya.  Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak serta sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda pun menjadi alas an diterimanya konsep pendidikan inklusif di berbagai negara.
Dengan adanya dukungan yang baik dari pemerintah, maka di berbagai daerah banyak bermunculan sekolah yang berlabel sekolah inklusi. Di satu sisi hal ini merupakan sesuatu yang menggembirakan karena akan meningkatkan kesempatan bagi anak difabel untuk mengenyam pendidikan. Namun di sisi lain ketika kita melihat penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang telat mempunyai label inklusi, hal yang menggembirakan tersebut berubah menjadi menyedihkan. Berbagai persoalan masih terlihat di sana sini. Mulai dari masalah aksesibilitas bangunan sekolah dan bahan ajar, asesmen, modifikasi kurikulum, kualitas guru pendamping, system penilaian sampai dengan pelibatan orang tua siswa. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi ada beberapa sekolah berlabel inklusi justru menolak atau mengeluarkan siswa difabel dari sekolahnya.
Upaya memperbanyak sekolah yang berlabel sekolah inklusif tanpa dibarengi dengan peningkatan layanan kepada siswa difabel akan sangat merugikan bagi anak difabel karena siswa difabel di sekolah inklusi akan merasa pada lingkungan asing dan kurang bersahabat,  siswa difabel tidak dapat mengikuti pelajaran secara maksimal,  serta akan memperkuat padangan siswa non difabel bahwa siswa difabel memang bodoh,  terbelakang, hanya mengganggu, dll. Hal ketiga ini justru jauh lebih berbahaya disbanding dua hal sebelumnya.
Melihat adanya kesenjanganan antara konsep dan realita yang terjadi di lapangan maka perlu dicari upaya pemecahan agar prasangka-prasangka negative terhadap anak-anak difabel tidak justru ditumbuhkan di dunia pendidikan, yang seharusnya dapat menuntut siswa lebih mengasah sisi kemanusiaan dan menyiapkan siswa menjadi manusia-manusia yang penuh bermartabat.
Tujuan dari kegiatan ini untuk mengidentifikasi berbagai persoalan yang dialami dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah inklusi dan menyusun rekomendasi perbaikan perbaikan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Workshop yang diikuti oleh 40 peserta ini dibagi menjadi dua kelompok diskusi. Kedua kelompok merumuskan permasalahan di pendidikan inklusi serta rekomendasi dan solusi. Beberapa kesulitan yang dialami peserta didik difabel tuli antara lain sulit memahami kalimat pada materi belajar di sekolah, sulitnya komunikasi, kurangnya guru pendamping khusus dan kurikulum yang diterapkan di sekolah tidak mengakomodir anak berkebutuhan khusus.

Peserta didik tuli mengharapkan metode belajar di sekolah harus bilingual agar mempermudah tuli mengakses materi pelajaran. Mereka juga berharap pemerintah lebih bertanggungjawab mensosialisasikan kepada seluruh sekolah di Indonesia bahwa kemampuan dari setiap anak berkebutuhan khusus bias dikembangkan.

Sistem Isyarat Bahasa Indonesia vs Bahasa Isyarat Indonesia

Saat orang dengar bertemu dengan orang dengar, mereka akan saling berbicara untuk berkomunikasi. Namu,n bagaimana dengan orang tuli saat ingin berkomunikas dengan sesama tuli? Mereka akan menggunakan bahasa ibu mereka, yakni bahasa isyarat. Dengan menggunakan bahasa isyarat, akan mempermudah mereka dalam berkomunikasi karena bahasa isyarat merupakan bahasa alami mereka.
Bahasa isyarat di Indonesia ada dua, yaitu Sistem Isyarat  Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). SIBI diciptakan dengan beberapa alasan, di antaranya untuk merepresentasikan Bahasa Indonesia pada tangan, untuk mengajarkan Bahasa Indonesia secara yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan karena mudah dipelajari oleh orang yang sudah bisa berbahasa Indonesia.
SIBI dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan tuli dan dasar pembuatannya mengacu pada Bahasa Indoensia lisan. SIBI dibuat hanya dengan mengubah Bahasa Indonesia lisan menjadi Bahasa Isyarat namun kosa kata isyaratnya banyak diambil dari bahasa isyarat Amerika. Tata bahasa yang digunakan dalam Bahasa Isyarat mengikuti bahasa Indonesia yang mengandalkan urutan kalimat dan satu isyarat untuk kata-kata berhomonim.
Sudah benar saat pemerintah memfasilitasi tulisan Braille untuk akses komunikasi anak tuna netra, karena mereka sudah lama mengenal Bahasa Indonesia. Dengan mendengarkan orang  yang berbicara secara lisan, tata Bahasa Indonesia sudah diketahui sebelum mereka mengenal tulisan Braille. Proses menghubungkan tulisan Braille dan Bahasa Indonesia itu menjadi mudah diakses oleh anak tuna netra.
Namun bagaimana dengan anak tuli yang dijejali SIBI oleh pemerintah? Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan anak tuli dan mampu diakses dengan mudah bagi mereka? Anak tuli belum pernah mengenal Bahasa Indonesia karena mereka tidak mendengar. Proses menghubungkan SIBI dan Bahasa Indonesia tidak berjalan karena anak-anak tuli belum tahu tata Bahasa Indonesia. Di sinilah SIBI gagal sebagai sistem untuk merepresentasikan Bahasa Indonesia yang belum diketahui.
Penerjemahan SIBI berupa kalimat lengkap dengan awalan dan akhiran. Contohnya kata perjalanan, dalam SIBI akan diterjemahkan menjadi per-jalan-an. Satu kata dengan 3 gerakan. Namun saat dihubungkan menjadi kalimat “mobil itu sedang dalam perjalanan ke sini”, kata “perjalanan” ini tetap dengan gerakan dua jari yang mengisyaratkan orang berjalan. Sehingga banyak tuli menangkap bahwa mobil berjalan seperti orang berjalan, bukan dengan menggunakan roda. Sedangkan dalam BISINDO, berjalannya mobil hanya dengan satu kata disertai ekspresi untuk menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung.
Contoh kata lainnya adalah “pengangguran”. SIBI menggunakan tiga gerakan yang mengeja peng-anggur-an. Disini terdapat kata anggur yang diisyarat layaknya buah anggur. Padahal tidak ada hubungan kata anggur dan pengangguran, karena anggur adalah nama buah sendangkan pengangguran berarti tidak punya pekerjaan. Sedangkan dalam BISINDO, penggangguran diisyaratkan dengan mengepalkan satu tangan dan mengetuknya ke bagian bawah pipi sebanyak dua kali yang berarti tidak memiliki kegiatan yang dilakukan atau tidak memiliki pekerjaan.
Guru di Sekolah Luar Biasa di Indonesia masih banyak yang mengajar dengan menggunakan SIBI dan oral atau bahasa bibir kepada siswa tuli. Dalam dunia akademis, BISINDO belum dipercaya mampu menjadi bahasa pengantar yang efektif. Sayangnya dampak penggunaan SIBI kepada siswa tuli membuktikan bahwa mereka tidak memahami informasi yang disampaikan gurunya secara maksimal. Tidak sedikit pula yang menjadi salah paham dengan informasinya yang disampaikan.
Inilah yang amat disayangkan. Dengan menggunakan SIBI, siswa tuli tidak bisa mengakses informasi secara maksimal. Banyak pengetahuan yang tidak dapat dipahami oleh siswa tuli di sekolah. Pemerintah dan masyarakat umum belum banyak yang menyadari hak tuli dalam berkomunikasi. Padahal sudah dijamin pada Pasal 24 ayat 3 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa Bangsa bahwa Negara-Negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak, termasuk memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat dan pemajuan identitas lingustik masyarakat tuli.
Melalui bahasa isyarat, anak tuli mampu mengembangkan pikirannya dan belajar berbagai hal, termasuk belajar bahasa lisan. Tanpa dibekali bahasa isyarat yang memadai, mereka akan mengalami masalah dalam mengembangkan pikirannya sehingga mereka mengalami berbagai masalah.

Referensi :
Presentasi Adhi Kusumo Bharoto, Laboratorium Riset Bahasa Isyarat pada 1 Maret 2015, 
Lainnya opini pribadi dan diambil dari slide power point berjudul Hak Tuna Rungu Berbahasa Isyarat oleh M. Umar Muslim,Tokyo University of Foreign Studies, Universitas Indonesia 

Monday, March 16, 2015

MPM Muhammadiyah Miliki Divisi Pemberdayaan Difabel




Solider.or.id, Yogyakarta- Sejak tahun 2005, Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah memiliki Divisi Pemberdayaan Kaum Margiinal. Sedangkan rancangan pemberdayaan untuk difabel sudah ada sejak 2005 namun baru terealisasi pada awal tahun 2014 sejak Arni Surwanti memperkuat MPM.
Awal berdirinya, divisi ini bekerja sama dengan salah satu organisasi difabel yang berlokasi di Yogyakarta, yakni Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) dalam upaya pendampingan kepada masyarakat difabel di Kecamatan Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta dan di Purworejo. Pendampingan tersebut berupa penguatan secara kelompok dan penguatan secara personal melalui pertemuan rutin, pengajian, pelatihan, konsultasi, bakti sosial, pelatihan pertanian dan pakan ternak, dll.
Di samping pertemuan rutin bulanan di Kantor MPM yang berada di Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan 103 Yogyakarta ini, MPM sedang memproses pembuatan kartu Ikatan Disabilitas Purworejo (IDP), pembuatan legal draft / akta notaris keorganisasian Difabel Lendah-Galur, dan proses pendaftaran BPJS kesehatan secara cuma-cuma untuk difabel domisili Yogyakarta.
Sudah Mulai Advokasi
“Tujuan adanya divisi program disabilitas ini agar masyarakat rentan menjadi lebih berdaya dengan adanya kebijakan yang tidak diskriminatif. Juga perlu adanya pendampingan langsung dan pendidikan kepada masyarakat umum bahwa difabel memiliki hak yang sama”, ungkap Arni Surwanti selaku pegiat divisi program disabilitas MPM.
Arni menambahkan, sebelum adanya silaturahmi rutin bulanan di kantor MPM Muhammadiyah, divisi ini sudah melakukan advokasi selama 1 tahun bekerja sama dengan CIQAL dan Himpunan Wanita Difabel Indonesia (HWDI). Advokasi ini berupa pendampingan dan pemberdayaan secara riil kepada kelompok marjinal seperti pedagang kasongan dan tukang becak. Tujuannya agar dapat meningkatkan kapasitas mereka dalam bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Sedangkan menurut Muhammad Qomarudin selaku relawan MPM, progam disabilitas muncul karena bagian dari visi besar MPM Muhammadiyah yaitu mengingkatkan kapasitas, harkat, martabat, daya saing, posisi tawar masyarakat menuju kehidupan sosial yang adil dan berkeadaban. Masyarakat di sini khususnya masyarakat yang termarginalkan.
Dalam rangka mencapai visi tersebut, maka MPM mengembangkan advokasi dan model pemberdayaan masyarakat, sehingga dibentuklah divisi advokasi dan model pemberdayaan kaum marjinal.
Divisi yang bertanggungjawan untuk program pemberdayaan disabilitas yaitu Divisi Advokasi serta Divisi Pemberdayaan Usaha Mikro dan kaum Marjinal yang biasa disebut Divisi Pemberdayaan kaum Marjinal atau Divisi Proletar. Divisi Advokasi lebih pada memperkuat posisi keorganisasian ke atas, misal kepada pemerintah, advokasi kebijakan pemerintah untuk pro kepada difabilitas, serta membuat akta notaris untuk legalitas. Sedangkan Divisi Pemberdayaan Kaum Marjinal memperkuat keorganisasian kebawah, bentuknya pendampingan langsung langsung kepada disabilitas, mengadakan pelatihan untuk menambah ketrampilan dan daya tawar difabilitas, pengajian untuk spiritual, bakti sosial, dan layanan kesehatan.

Kegiatan yang aktif hingga kini adalah silaturahmi dan pengajian rutin pada minggu ketiga setiap bulan yang terbuka untuk umum. Sedangkan jumlah relawan aktif di MPM sebanyak 30 orang yang mayoritas mahasiswa/alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pergerakan ini berbasis relawan sehingga kendala yang dialami oleh pergerakan ini adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas dengan banyaknya bidang yang dikerjakan oleh MPM. (Ramadhany Rahmi)

Difabel Tuli Yogyakarta Menolak Diberikan SIM D

Sebanyak lima orang difabel tuli mendapatkan SIM C pada Kamis (12/3) di Polres Bantul Yogyakarta. Setelah menjalani ujian praktik pada Selasa (3/3), mereka mengikuti tes teori pada Kamis (12/3).
Ditemui Solider pada Kamis (12/3) saat pembagian SIM C kepada difabel tuli, Yusdiar selaku perwakilan Polres Bantul Yogyakarta menyarankan kepada seluruh difabel tuli agar menggunakan alat bantu dengar saat mengendari motor. “Bisa dengar nggak kalau pake alat bantu dengar? Dipakai ya kalo naik motor biar tahu kalo di belakang ada kendaraan lain”, jelas Yusdiar.
Ketika ditanya terkait saran yang diberikan kepada difabel tuli, Yusdiar mengatakan bahwa pihaknya mengikuti rekomendasi yang diberikan oleh dokter. “Kita (polisi) kan menerima surat rekomendasi dari dokter kalau tuna rungu harus pakai alat bantu dengar. Ya kita cuma mengikuti saran dokter saja. Nanti kalau terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kecalakaan, pasti kita (polisi) juga yang disalahkan kalau tidak mengikuti saran dokter. Lebih baik dipaksakan saja pakai alat bantu dengar, kan lama-lama juga terbiasa”, terang Yusdiar.
Sedangkan difabel tuli bercerita dalam bahasa isyarat bahwa penggunaan alat bantu dengar saat berkendara membuatnya tidak fokus dan terganggu. Bagi mereka alat bantu saat berkendara bisa berupa lampu, kaca spion, dan getaran dari helmnya. Sehingga untuk mempermudah pembuatan SIM C, mereka hanya mengiyakan saja indahan dokter dan polisi.
Laksmayshita Khanza yang difabel tuli bercerita dalam bahasa isyarat bahwa dia tidak dapat membuat SIM C di Polres Kota Yogyakarta pada Rabu (11/3) karena pihak kepolisian berdalih sudah mengikuti prosedur yang ditetapkan bahwa seluruh jenis disabilitas masuk ke dalam pengguna SIM D meskipun motor yang dikendarainya roda dua
Bawa Alat Bantu untuk Permudah Proses.
Pada proses pendaftaran tersebut, sebanyak enam orang difabel tuli yang mendaftar tidak mendapatkan SIM C. Dua difabel tuli membawa alat bantu dengar dari rumah dengan tujuan mempermudah proses pembuatan SIM C. Mereka berdua lolos tes teori dan praktik karena menggunakan alat bantu dengar. Namun, ternyata pihak kepolisian memberikan SIM D sehingga mereka berdua menolak.
Sedangkan empat difabel tuli yang tidak menggunakan alat bantu dengar, tidak dapat mengikuti tes teori dan praktik. Dalam keseharian, mereka tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka nyaman berbahasa isyarat. Mereka datang ke Polres Kota Yogyakarta karena mengetahui pengalaman teman tuli lainnya yang bisa mendapatkan SIM C tanpa alat bantu dengar pada tahun 2009.
Keenam difabel tuli tersebut menolak diberikan SIM D karena sepeda motor yang mereka gunakan roda dua, bukan roda tiga seperti difabel daksa. Mereka memilih untuk membatalkan pembuatan SIM C dan menunggu pendaftaran baru dengan kawan tuli yang lebih banyak dan mengajak kawan tuli yang tidak memakai alat bantu dengar namun memiliki SIM C. Harapannya pihak kepolisian akan bisa lebih kooperatif seperti kepolisian di Polres Bantul Yogyakarta yang mengizinkan difabel tuli mengakses SIM C.
Muhammad Diki Prasetyo salah satu difabel tuli yang menolak SIM D mengungkapkan jika terjadi operasi atau razia sepeda motor di jalan, dia dan kawan-kawan tuli akan menunjukkan kartu anggota Gerakan Kesejahteraan untuk Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) agar pihak kepolisian mengetahui bahwa Diki merupakan difabel tuli dan tidak dikenakan denda karena tidak memiliki SIM. (Ramadhany Rahmi)

Relawan Yaketunis, Kelompok Pemuda Peduli Siswa Difabel Netra

Solider.or.id, Yogyakarta- Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam atau Yaketunis memiliki banyak pemuda yang peduli kepada isu difabilitas. Mereka tergabung dalam Rewalan Yaketunis yang berlokasi di Sekolah Luar Biasa A Yaketunis di Jalan Parangtritis 46 Yogyakarta.
Gerakan Relawan Yaketunis pada mulanya muncul karena adanya Program Kreativitas Mahasiswa  (PKM) dari mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada tahun 2012. Meskipun dulu hanya beranggotakan 3 orang, kelompok PKM ini mencoba membuat media pembelajaran Bahasa Inggris untuk difabel netra. Sebelum menjadi Relawan Yaketunis, kelompok ini mencoba membuat media pembelajaran Bahasa Inggris di Yayasan Mardi Wuto yang mana salah satu murid pada program tersebut berasal dari yayasan Yaketunis.
Meskipun PKM sudah berakhir, namun kelompok ini tidak serta merta melepaskan pendampingan pembelajaran Bahasa Inggris kepada murid difabel netra. Sejak Januari 2015, kelompok ini berganti menjadi Relawan Yaketunis yang beranggotakan 5 orang.
Relawan Yaketunis ini berasal dari mahasiswa berbagai universitas di Yogyakarta dan masyarakat umum yang mau membantu, termasuk dari pegiat isu difabel. Yuhda Wahyu Pradana selaku koordinator Relawan Yaketunis mengatakan, “Senang kalau bisa membantu mereka (difabel netra), disini aku juga belajar rasa bersyukur dan terlanjur jatuh cinta dengan suasananya.”
Promosi Lewat Media Sosial
Kegiatan Relawan Yaketunis berupa pendampingan belajar kepada seluruh siswa di Yaketunis pada malam hari karena pada siang hingga sore hari, siswa tetap mengikuti proses belajar mengajar di sekolah di Yaketunis. Pendampingan belajar pada awal berdirinya hanya mengajarkan Bahasa Inggris, namun seiring meningkatnya kebutuhan siswa di Yaketunis, Relawan Yaketunis kini mengakomodir kebutuhan siswa kelas 3 yang akan menghadapi ujian nasional.
Yuhda mencoba mencari relawan dengan cara promosi menggunakan media sosial dan berjejaring dengan teman-temannya. Hingga banyak mahasiswa dari berbagai jurusan yang dengan ikhlas membagikan ilmunya kepada siswa di Yaketunis mulai dari tingakt SD, SMP, SMA, hingga kuliah. Proses belajar mengajar di kelas saat sekolah dianggap kurang maksimal oleh siswa dan dengan adanya Relawan Yaketunis, seluruh kebutuhan belajar siswa di Yaketunis bisa terakomodasi.
Pendampingan belajar ini bersifat tambahan dan suka rela kepada siswa. Tidak ada sanksi bagi siswa dan relawan yang tidak mengikuti. Meskipun demikian, seluruh siswa merasa senang dan bersemangat mengikuti kegiatan ini. Bahkan tidak sedikit yang meminta tambahan belajar diluar jadwal relawan yang sudah ditentukan.
Relawan Yaketunis yang aktif hingga tahun 2015 ini sebanyak 18 orang, termasuk didalamnya 8 orang khusus untuk mendampingi pelajaran Bahasa Inggris pada hari Selasa pukul 18.30 – 19.30 WIB. Yuhda menambahkan, Relawan Yaketunis terkadang datang dan pergi. Meskipun demikian, ada beberapa yang tetap berkomitmen untuk memberi pendampingan. Kelompok relawan ini terbuka kepada siapa saja yang ingin bergabung membagikan ilmu. (Ramadhany Rahmi)

Sahabat Difabel Banjarnegara, Komunitas Pejuang Inklusi di Daerah

Solider.or.id, Banjarnegara- Sahabat Difabel Banjarnegara merupakan sebuah komunitas sosial pemerhati difabel yang terbentuk sejak November 2014. Sekretariat komunitas ini berada di belakang masjid An-Nur alun-alun Banjarnegara.  Tujuan berdirinya komunitas ini adalah untuk mewadasahi organisasi yang peduli dengan isu difabel dan menyatukan seluruh jenis difabilitas menjadi sebuah kelompok inklusif yang kuat. Organisasi ini juga untuk mengadvokasi masyarakat umum dan menjembatani kebutuhan yang diperlukan bagi  warga difabel Banjarnegara.
Komunitas yang diluncurkan pada 18 Desember 2014 ini beranggotakan 30 orang. Kegiatgan perdana Sahabat Difabel Banjarnegara adalah kegiatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di alun-alun Banjarnegara pada tanggal 14 Desember 2014. Pada momen tersebut, komunitas ini mengkampanyekan identitas difabel kepada masyarakat yang sedang berkunjung ke alun-alun. Mereka membagikan stiker, gantungan kunci, dan pamflet berisikan arti difabel serta mengkampanyekan kepada masyarakat untuk tidak lagi menggunakan kata “cacat”.
Selain itu, pada momen peringatan HDI mereka membuat karya seni mural, menyanyi, serta memainkan alat musik piano. Semua  bentuk pementasan itu dilakukan oleh orang difabel.Dua hari sebelum memperingati HDI di alun-alun, yakni tanggal 12 Desember 2014, warga Banjarnegara terkena musibah tanah longsor. Namun komunitas ini tetap memperingati HDI namun disertai doa bersama dan menggalang dana dengan mengedarkan kotak amal untuk mereka yang menjadi korban bencana longsor.
 “Kami tetap ingin membantu saudara kami entah bagaimana pun caranya”, ujar Yuhda Wahyu Pradana sebagai salah satu anggota komunitas Sahabat Difabel Banjarnegara.Yuhda menambahkan, momen ini sekaligus menjadi kesempatan untuk mengubah perspektif  masyarakat bahwa difabel tidak selalu menjadi obyek bantuan, tetapi bisa berperan menjadi subyek.
Komunitas ini berbasis volunteer sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi pengurus untuk mempertahankan komitmen dan kepekaan terhadap isu difabel. Meskipun belum genap berumur  1 tahun, komunitas ini sudah berjejaring dengan komunitas sosial lainnya seperti Siaga Sedekah. Kegiatan yang sudah dilaksanakan antara lain pendampingan pelatihan komputer, pengajian rutin bulanan tiap minggu pertama, dan pembuatan kerajinan atau seni. (Ramadhany Rahmi)

Silaturahmi Rutin Berpeluang Bisnis Bagi Difabel

Solider.or.id, Yogyakarta- Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kembali mengadakan silaturahmi keluarga besar difabel Yogyakarta pada pengajian rutin minggu ketiga yang kali ini diadakan pada hari Minggu, (15/3). Pengajian yang diadakan di kantor Muhammadiyah Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan Yogyakarta ini dihadiri oleh 50 orang peserta yang tidak hanya muslim.
Acara ini dimulai pukul 08.30 hingga pukul 13.00 WIB dimulai dengan temu bisnis bagi seluruh peserta. Kegiatan temu bisnis ini berupa pembukaan stand bagi peserta yang hendak menjual produknya. Peserta tidak perlu tertinggal pengajian karena stand akan dijaga oleh panitia dari MPM yang dengan suka rela membantu. Namun masih banyak stand yang kosong, sehingga panitia masih membuka bagi difabel lainnya yang ingin berbisbis.
Ada yang berbeda pada pengajian kali ini. Jika pengajian sebelumnya ustad berdakwah 1 jam penuh dengan tausiah, kali ini Bambang Wahyu Nugroho selaku ustad di pengajian ini menyampaikan dakwahnya melalui beberapa lagu. Beliau juga menggunakan alat musik organ dan menyanyikan lagu bernafaskan tausiah. Seluruh lagu tersebut  beliau kupas maknanya sehingga peserta pengajian bisa memahami tausiah dan tidak mengantuk.
Pengajian rutin ini juga dihadiri oleh 20 difabel tuli dan dibantu seorang juru bahasa isyarat. Tidak hanya orang tua saja yang mengikuti pengajian, namun juga diperbolehkan membawa anak untuk belajar agam bersama.
Setelah sesi pengajian, sesi pengembangan informasi dibawakan oleh Triono yang merupakan difabel daksa namun menjadi seorang pengusaha susu Zupermilk. “Menjadi difabel bukan berarti orang bisa kasihan, tapi buktikan dengan kerja keras. Prosesnya mungkin akan panjang, tapi harus bersabar dan tetap istiqomah, tidak putus asa,” ujar Triono memberi motivasi.
Triono juga menyampaikan bahwa usahanya terbuka bagi difabel yang ingin bergabung.  Kantor susu Zupermilk berada di Jalan. Patangpuluhan no.36 Wirobrajan dan di Jln. HOS Cokroaminoto no.97, Wirobrajan. (Ramadhany Rahmi)

Ciqal Sosialisasikan Isu Kekerasan Seksual kepada Tuli Yogyakarta



Solider.or.id, Yogyakarta- Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilitity (CIQAL) adakan diskusi komunitas kepada Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Yogyakarta pada Sabtu, 14 Maret 2015 di SLB N 1 Bantul, Yogyakarta. Diskusi ini berlangsung sejak pukul 09.00 – 12.00 dan dihadiri oleh 40 orang peserta.
“Pertemuan ini merupakan bentuk sosialisasi dari CIQAL mengenai isu kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas. Banyak kekerasan seksual terjadi dengan korban perempuan disabilitas namun tidak terselesaikan masalahnya. Bisa karena si korban takut mengungkapkan kepada orang lain, bisa juga karena keluarga dan lingkungannya yang kurang mendukung,” kata Nuning selaku Direktur CIQAL.
Nuning menambahkan dalam sambutannya, jika teman-teman tuli Gerkatin memiliki pengalaman kekerasan dari pacar, guru, atau lingkungannya, jangan hanya diam menyembunyikan, tapi harus berani untuk menolak dan mengatakan tidak. Jika sudah terjadi kekerasan dan malu bercerita kepada orang tua, katakan kepada teman atau sahabat sehingga bisa membantu mencari solusi.
Materi yang disampaikan pembicara dapat dipahami oleh peserta yang datang karena bantuan dari juru bahasa isyarat. Terlebih saat pembicara memutar video pembelajaran, peserta menjadi semakin paham bagaimana cara untuk mencegah adanya tidak kekerasan. Terdapat 16 pertanyaan yang diajukan oleh peserta kepada pembicara, sehingga meskipun acara sudah ditutup, masih ada peserta yang tetap berada di ruangan dan menanyakan jawaban atas pertanyaannya.
Peserta tuli memberi masukan kepada penyelanggara acara agar menggunakan alat peraga seperti boneka agar lebih mudah dipahami oleh difabel tuli. Mereka juga berharap sosialisasi seperti ini tidak berhenti namun terus dilakukan terutama untuk anak usia sekolah. (Ramadhany Rahmi)

CIQAL Peringati Hari Perempuan Sedunia


Solider.or.id, Yogyakarta- Dalam rangka memperingati Internasional Women Day 2015, Center for Improving Qualified Actifities in Life of People With Disability (CIQAL) mengadakan diskusi publik dengan tema Peran Serta Masyarakat dalam Mendorong Pengesahan RUU Kekerasan Seksual (Termasuk kepada difabel) pada Sabtu (7/3) di kantor Ciqal Jalan Jambon RT 7 RW 23 Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Materi diskusi diberikan oleh dua orang pemantik diskusi dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dengan materi : Mendorong kebijakan penghapusan Kekerasan Seksual bagi perempuan Penyandang Disabilitas dan dari Yayasan Rifka Annisa Yogyakarta, dengan materi Memperkuat Upaya Pencegahan dan Penanganan Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual.
“Tujuan dari kegiatan ini agar dapat terselenggaranya diskusi publik tentang sosialisasi RUU Kekerasan Seksual di Daerah Istimewa Yogyakarta dan adanya kampanye untuk menggalang dukungan RUU Penghapusan Kekersan Seksual di Daerah Istimewa Yogyakarta”, jelas Ibnu Sukaca perwakilan dari Ciqal.
Ibnu menambahkan bahwa output dari kegiatan ini agar bertambah lagi sebanyak 50 orang dari masyarakat dan pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang lebih memahami RUU Kekerasan Seksual, adanya dukungan dari masyarakat dan pemerintah pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Daerah Istimewa Yogyakarta, serta adanya minimal 200 tanda tangan tokoh masyarakat di Daerah Istimewa yogyakarta, untuk mendukung penyusunan dan pengesahan RUU Kekerasan Seksual.
Kegiatan ini dilakukan selama dua hari, pada hari Sabtu (7/3) Diskusi Publik dan pada hari Minggu (8/3) Sunday Morning Gathering untuk penyandang disabilitas dan Kampanye untuk menggalang dukungan pengesahan RUU Kekerasan Seksual di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Diskusi dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain komunitas / tokoh masyarakat dan agama juga dihadirkan dari pihak-pihak terkait seperti kepolisian, pemerintah Daerah Kabupaten Kota di DIY juga guru pengajar, dosen, mahasiswa, 4 orang difabel tuli dan juru bahasa isyarat. (Ramadhany Rahmi)