Translate

Wednesday, January 28, 2015

Membangun Desa Tangguh Bencana dan Masyarakat Inklusif


Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) mengadakan pelatihan desa tangguh bencana dan masyarakat inklusif di desa Kebonagung yang berakhir pada hari Sabtu 24 Januari 2015. Pelatihan ini diikuti di 5 dusun yakni dusun Kanten, dusun Kalangan, dusun Jayan, dusun Mandingan, dan dusun Tlogo. Pelatihan ini bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia cabang Bantul serta didukung oleh The Federal Ministry for Economic Cooperation and Development in Germany (BMZ). Pihak penyelanggara juga melibatkan perwakilan Disabled People Organization (DPO) yang dihadiri oleh 2 difabel tuli, 3 difabel netra, dan 1 difabel daksa.

Desa Kebonagung dipilih menjadi lokasi pelatihan karena desa ini termasuk dalam desa rawan bencana gempa dan longsor. Pelatihan yang diikuti oleh 118 peserta ini tidak hanya belajar pertolongan pertama gawat darurat, namun akan diadakan pelatihan serupa di desa Kebonagung dengan tema tata ruang yang aman. Tujuannya agar meminimalisir jumlah korban bencana dan terbentuknya masyarakat inklusif. 
 
"Sabtu itu hari terakhir pelatihan pertolongan pertama gawat darurat saja. Tapi masih ada rangkaian kegiatan yang lain. Pelatihan yang dikasih untuk tim penaggulangan bencana (PB) dusun ada 4 divisi : pengurangan resiko bencana (PRB) dasar, logistik dan dapur umum, komunikasi, dan pertolongan pertama gawat darurat. Itu disesuaikan sama divisi yang mau dibentuk masing-masng tim PB", jelas Rizma Kristiana perwakilan dari ASB.

Rizma menambahkan, keempat divisi tersebut penting untuk dibentuk. Sebenarnya pelatihan tata ruang aman sudah diberikan saat pelatihan PRB dasar. Namun dari hasil monitoring, khusus untuk tata ruang aman ternyata masih kurang maksimal sehingga perlu mengulang pelatihan.

Friday, January 23, 2015

ASB Gandeng Difabel Tuli dalam Pelatihan Pertolongan Pertama Gawat Darurat



Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) melibatkan tuli dalam pelatihan pertolongan pertama gawat darurat untuk tim penanggulangan bencana di dusun Kanten, desa Kebonagung, Sleman, Yogyakarta tanggal 19 sampai dengan 24 Januari 2014. Pelatihan ini bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia cabang Bantul serta didukung oleh The Federal Ministry for Economic Cooperation and Development in Germany (BMZ). Pelatihan ini  diikuti oleh 118 peserta di desa Kebonagung.
"Pelatihan ini sebenarnya diadakan di 5 dusun yang ada di desa Kebonagung, dari Senin - Sabtu. Tujuannya biar terbentuk masyarakat inklusif dan tangguh bencana, juga terbentuknya tim penganggulangan bencana di desa Kebonagung ini. Karena di desa Kebonagung ini tergolong desa rawan bencana gempa dan banjir", ungkap Agustina Damayanti selaku perwakilan dari ASB kepada Solider.
Perempuan yang akrab disapa Nina ini menjelaskan bahwa ada dua indikator terbentuknya desa tangguh bencana, yakni kesiapan penanggulangan bencana dan pertumbuhan ekonomi. Ia menambahkan untuk mencapai indikator tersebut, perlu adanya tim penanggulangan bencana dan juga adanya legalitas dari pemerintah.
Nina mengungkapkan bahwa Setiap pelatihan yang diadakan ASB, pasti melibatkan perwakilan dari difabel people organization (DPO), tujuannya agar infomasinya yang mereka sampaikan dapat tersebar ke seluruh anggota DPO lainnya yang tidak mengikuti pelatihan. Pada pelatihan ini ASB menggandeng Gerkatin Jogja sebagai perwakilan DPO. Panitia juga melibatkan juru bahasa isyarat untuk mendukung peran aktif peserta tuli.


Thursday, January 22, 2015

Perlunya Pendidikan dan Layanan Kesehatan Reproduksi untuk Remaja Difabel dan Orangtua Anak Difabel

Dalam proses pemahaman diri sendiri tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi, orang difabel dihadapkan pada persoalan bagaimana mengkomunikasian dan memahamkan kepada orang lain mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapinya serta bagaimana penyelesaian yang dipilih. Kesehatan reproduksi, bagi sebagian besar masyarakat (orangtua) dengan adat ketimuran, masih dianggap sebagai suatu yang tabu dan tidak boleh dibicarakan, terlebih kepada remaja atau bahkan anak-anak. Hal ini menjadi isu tersendiri ketika dikaitkan dengan masa-masa pubertas.

Pola komunikasi dan kesadaran kedua belah pihak baik orang tua dan remaja sendiri, menjadi sangat penting dalam penyelesaian masalah-masalah yang mungkin dihadapi dalam kesehatan reproduksi. Hal ini akan menjadi semakin kompleks ketika dihadapkan pada permasalahan yang terjadi pada orang-orang difabel. Hambatan-hambatan yang dialami sangat terpengaruh oleh keberagaman dan jenis difabel yang dimiliki oleh masing-masing orang.

Tuli akan memiliki kendala yang berbeda dengan difabel netra, difabel daksa akan menyelesaikan masalahnya dengan cara yang tidak sama dengan difabel grahita. Pada difabel daksa sendiri misalnya, pengguna kruk akan menghadapi hambatan berbeda dengan paraplegic.  Menjelaskan organ-organ reproduksi kepada remaja tuli akan berbeda caranya dengan penjelasan kepada difabel netra, dan sebaginya. Kompleksitas yang terjadi karena keberagaman disabilitas inilah yang membuat isu kesehatan reproduksi menjadi sangat rumit bagi difabel.

Tidak semua sekolah baik Sekolah Luar Biasa (SLB), sekolah umum, maupun sekolah inklusif  mengajarkan pendidikan terkait kesehatan reproduksi kepada peserta didik. Peran serta orang tua menjadi sangat penting untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi terutama orang tua anak difabel. Informasi kesehatan reproduksi sangat memperngaruhi kesehatan reproduksi yang tidak hanya sehat alat reproduksinya, namun juga sehat secara mental dan sosial. Sering kali, kurangnya informasi dan kesadaran kesehatan reproduksi menimbulkan permasalahan kesehatan reproduksi seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak tahu cara merawat kesehatan alat reproduksi pribadi yang menyebabkan penyakit menular seperdi AIDS atau HIV.

Ketidakpahaman resiko yang akan dihadapi jika tidak menjaga kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dimengerti oleh remaja difabel. Remaja difabel menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi. Pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi mutlak diperlukan untuk remaja difabel agar dapat menghindari masalah kesehatan reproduksi yang tidak diinginkan dan mengurangi jumlah korban kekerasan terhadap remaja difabel. Tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua anak difabel, pemerintah juga dituntut untuk memberikan pengetahuan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah dan menindak tegas pelaku kekerasan seksual remaja difabel.

Pembelajaran terkait kesehatan reproduksi harus dapat dipastikan tepat sasaran dan diterima baik oleh remaja difabel. Materi pelajaran kesehatan reproduksi tidak bisa disamakan untuk remaja difabel karena kemampuan mereka yang berbeda dalam menyerap informasi. Contohnya untuk remaja tuli, dibutuhkan kemampuan bahasa isyarat oleh guru yang mengajar disertai gambar beserta keterangan, alat peraga, dan video. Hal ini bertujuan agar remaja difabel dapat memahami secara optimal materi mengenani kesehatan reproduksi. Tentu berbeda jika menyampaikannya kepada remaja difabel lainnya. Materi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan remaja difabel agar informasi kesehatan reproduksi untuk remaja difabel dapat tersampaikan dengan maksimal.

Wednesday, January 21, 2015

SAPDA Adakan Workshop Pembuatan Panduan Pendidikan Kesehatan Reproduksi


Sentra Advokasi perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) mengadakan workshop pembuatan panduan pendidikan kesehatan reproduksi bagi difabel dan orangtua difabel di Hotel Ruba Grha, Jalan Mangkuyudan Yogyakarta pada Selasa sampai dengan Kamis 20-22 Januari 2015. Workshop ini bersifat berbagi pengalaman dan proses-proses yang dihadapi pada difabel dalam kaitannya dengan pemahaman diri sendiri tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. Workshop ini juga membahasa serta bagaimana mengkomunikasikan dan memahamkan kepada orang lain mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi serta bagaimana penyelesaian yang dipilih.

Berlaku sebagai pembicara pada acara workshop Selasa, 20 Januari 2015 adalah dari tim tuli. Mereka berbagi cerita dan pengalaman terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas sesuai dengan tingkat kenyamanan masing-masing dan peseta/ berhak menarik diri kapan saja dari forum diskusi jika merasa tidak lagi nyaman dengan atmosfer diskusi. Nantinya hal ini akan dijadikan sebuah konsep acuan dalam penyusunan modul pendidikan kesehatan reproduksi bagi orangtua dan remaja difabel. 
Tidak hanya dari tim tuli saja, tetapi tim difabel lainnya juga akan berbagi pengalaman di hari berikutnya. kelompok difabel netra akan berdiksui pada hari Rabu, 21 Januari 2015 pukul 09.00 - 12.00 WIB di lokasi yang sama. Kelompok orang tua anak difabel pada Rabu, 21 Januari 2015 pukul 13.00 - 16.00, dan kelompok difabel daksa akan berdiskusi pada hari Kamis, 22 Januari 2015 pada pukul 09.00 - 12.00 di lokasi yang sama.

Tuesday, January 20, 2015

Gerkatin Yogyakarta Akan Mendata Masalah Warga Tuli

Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Dewan Pengurus Daerah (DPD) Istimewa Yogyakarta belajar bersama tentang cara-cara mewawancarai terkait pendataan tuli pada Senin, (19/1) di Laboratorium Riset Bahasa Isyarat (LRBI) Jogja di Jalan Modang, Mantrijeron, Yogyakarta.
"Tujuan acara ini biar besok kalo ada pemerintah yang minta data tuli Jogja, kita (Gerkatin) sudah punya datanya dan masalahnya apa saja. Besok Kamis ada latihan wawancara untuk anggota Gerkatin dan dipilih 5 orang untuk mewawancarai warga tuli Jogja yang datang pada hari Minggu, tapi melihat situasi dulu besok yang datang banyak atau sedikit," ungkap Stephanie Kusuma Rahardja atau Fani dengan bahasa isyarat selaku ketua Gerkatin DIY periode 2014-2018.
Pendataan warga tuli ini berdasar pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Selain itu, program Gerkatin Jogja ini merupakan hasil rencana tindak lanjut dari pelatihan yang pernah diikuti oleh Fani yang diadakan oleh Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) pada Agustus 2014 lalu. Wanita lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain ini juga memiliki rencana bahwa semua pengurus Gerkatin Jogja akan belajar bersama tentang manajemen organisasi dari Handicap Internasional (HI).
Lebih jauh, Fani berharap dengan adanya data masalah yang kerap dihadapi warga tuli Jogja, pemerintah dan masyarakat umum memiliki kesadaran untuk mewujudkan solusi bersama dan mengurangi diskriminasi terhadap tuli.