Translate

Thursday, April 9, 2015

Tuli dalam Perspektif Sosial Budaya

Banyak orang langsung menilai bahwa tuli adalah orang yang tidak bisa mendengar atau orang yang memiliki hambatan pendengeran. Namun dari perspektif sosial-budaya,  tuuli bukan merupakan kecacatan, bukan pula difabel atau disabilitas fisik, melainkan sebuah kelompok minoritas linguistik, pengguna bahasa isyarat. Tuli adalah pernyataan kultural sebagai identitas budaya tuli. Dikatakan demikian karena budaya tuli memiliki bahasa, sejarah, sistem nilai, tata perilaku, sistem kepercayaan, tradisi, sistem kemasyarakatan, perjuangan, dan kesenian.
Kebanyakan tuli berisyarat satu sama lain tanpa mempertimbangkan tingkat pendidikan mereka karena  tidak setiap tuli memiliki kemampuan bahasa isyarat yang sama. Di sisi lain, tidak semua tuli menggunakan bahasa isyarat, beberapa masih menggunakan sistem simbol manual. Adapun tuli pengguna bahasa isyarat harian jika berada di rumah (home sign). Home sign adalah bahasa isyarat yang hanya dimengerti oleh anggota keluarga. Sedangkan dialek bahasa isyarat yang menunjukan daerah asal penggunanya masih digunakan dalam kebudayaan Tuli contohnya bahasa isyarat Kolok, bahasa isyarat Jakarta, bahasa isyarat Tarakan, bahasa isyarat Yogyakarta, dan lain sebagainya.
Norma, Nilai, dan Kepercayaan
Bahasa isyarat selayaknya dinilai sebagai kekayaan budaya meskipun ada salah satu kutipan dari orang dengar yang menyatakan bahwa bahasa isyarat bukan bagian dari kebudayaan. Ketulian seyogyanya tidak dianggap sebagai suatu masalah atau penyakit yang perlu disembuhkan karena sebagian besar masyarakat tuli menilai diri mereka sendiri sebagai budaya minoritas.
Dalam berhubungan sosial kemasyarakatan, ada tuli yang hidup sendiri diantara orang-orang dengar, ada juga yang hidup berkelompok. Mereka yang hidup berkelompok lebih mengerti perbedaan budaya dengan budaya lain atau budaya mayoritas. Mereka pun mengerti norma perilaku bahwa tuli memiliki kesetaraan martabat, kehormatan, dan etiket.
Budaya tuli juga memiliki tradisi seperti acara tahunan, contohnya syawalan bersama keluarga besar tuli, lomba, Hari Tuli Internasional, olahraga antar Tuli se- Sekolah Luar Biasa (SLB) se-kota, Nasional, dan bahkan sedunia yang dikenal dengan nama Deaflympic. Tuli juga memiliki nyanyian dalam bahasa isyarat untuk lagu selebrasi. Cerita dalam menggunakan bahasa isyarat untuk mengajarkan alfabet pada anak pun ada. Karya komedi tuli, komik buatan Tuli seperti “That Deaf Guy”, dan deaf anecdote pun muncul sebagai hasil karya tuli yang bercerita mengenai Tuli, bahasa isyarat, peristiwa nyata, humor, dan hal-hal lucu lainnya.
Contoh kelompok tuli yang hidup dalam kemasyarakatan di antaranya Deaf Art Community di Yogyakarta dan Magelang Deaf Club di Magelang. Kelompok olahraga tuli pun ada seperti kelompok futsal tuli, deaflympic, dan PORTURIN. Sekolah tuli juga ada contohnya Gallaudet University di Amerika Serikat yang menggunakan metode bahasa isyarat dalam proses belajar mengajar. Sedangkan internet dan media sosial yang akses untuk tuli contohnya dengan video rekaman pada skype, camfrog, oovoo, dan teknologi termodern seperi video call.
Seni dan Sejarah Tuli
Tidak sedikit masyarakat melihat bahwa kemampuan Tuli dalam seni tergolong bagus. Penilaian ini dikarenakan Tuli dapat memaksimalkan kemampuan visual. Mereka mampu melihat bagaimana orang lain mengasah kemampuan seninya sehingga mereka mampu mencontohnya dan mengaplikasikan terhadap dirinya. Contoh seniman Tuli dalam bidang musik adalah Ludwig Van Beethoven dan Hellen Keller sebagai contoh penulis tuli. Tuli juga mampu bermain teater, bercerita dengan menggunakan bahasa isyarat, memahat, melukis, dan lain sebagainya.
Menurut Paddy Ladd seorang peneliti tuli dari University of Bristol,  perkembangan bahasa isyarat sudah ada jauh sebelum abad ke 14. Sedangkan pada abad ke 17, alfabet tangan diciptakan oleh Juan Pablo Bonet dalam bukunya. Kemudian pada tahun 1880 terdapat   International Congress on the Education for the Deaf (ICED) di Milan, Italia yang membahas mengenai metode pengajaran dan penggunaan bahasa untuk tuli dalam pendidikan tuli, oralism atau manualism. Namun pada kongres tersebut, mekanisme oral yang mendapat suara terbanyak yang juga mendapat dukungan dari Alexander Graham Bell. Sehingga perkembangan bahasa isyarat mulai menurun sejak saat itu. Setelah peristiwa penting tersebut memicu pergerakan masyarakat tuli dengan berdirinya The National Association of the Deaf (NAD) di Amerika untuk memperjuangkan hak tuli, melindungi budaya dan bahasa mereka. Perjuangan penggunaan bahasa isyarat kembali berkembang pada tahun 1960 oleh William C. Stokoe dan penelitiannya mengenai Sign Language Structure” pada Bahasa Isyarat Amerika.
 Perjuangan masyarakat tuli di dunia mengenai pendidikan tuli berhasil membuahkan hasil dengan terselenggarakan ICED kedua di Vancouver, Kanada pada 2010 yang membahas tentang resolusi Milan. Metode pengajaran dan penggunaan bahasa yang tepat dalam pendidikan tuli adalah bahasa isyarat. (Ramadhany Rahmi)
Referensi : Presentasi pada Seminar “Mengenal Budaya Tuli dan Bahasa Isyarat”. Yogyakarta, 29 Maret 2015 oleh Adhi Kusumo Bharoto, peneliti di Laboratorium Riset Bahasa Isyarat.