Banyak orang langsung menilai bahwa tuli adalah
orang yang tidak bisa mendengar atau orang yang memiliki hambatan pendengeran.
Namun dari perspektif sosial-budaya, tuuli bukan merupakan kecacatan,
bukan pula difabel atau disabilitas fisik, melainkan sebuah kelompok minoritas
linguistik, pengguna bahasa isyarat. Tuli adalah pernyataan kultural sebagai
identitas budaya tuli. Dikatakan demikian karena budaya tuli memiliki bahasa,
sejarah, sistem nilai, tata perilaku, sistem kepercayaan, tradisi, sistem
kemasyarakatan, perjuangan, dan kesenian.
Kebanyakan tuli berisyarat satu sama lain tanpa
mempertimbangkan tingkat pendidikan mereka karena tidak setiap tuli
memiliki kemampuan bahasa isyarat yang sama. Di sisi lain, tidak semua tuli
menggunakan bahasa isyarat, beberapa masih menggunakan sistem simbol manual.
Adapun tuli pengguna bahasa isyarat harian jika berada di rumah (home
sign). Home sign adalah bahasa isyarat yang hanya dimengerti oleh anggota
keluarga. Sedangkan dialek bahasa isyarat yang menunjukan daerah asal
penggunanya masih digunakan dalam kebudayaan Tuli contohnya bahasa isyarat
Kolok, bahasa isyarat Jakarta, bahasa isyarat Tarakan, bahasa isyarat
Yogyakarta, dan lain sebagainya.
Norma, Nilai, dan Kepercayaan
Bahasa isyarat selayaknya dinilai sebagai
kekayaan budaya meskipun ada salah satu kutipan dari orang dengar yang
menyatakan bahwa bahasa isyarat bukan bagian dari kebudayaan. Ketulian
seyogyanya tidak dianggap sebagai suatu masalah atau penyakit yang perlu
disembuhkan karena sebagian besar masyarakat tuli menilai diri mereka sendiri
sebagai budaya minoritas.
Dalam berhubungan sosial kemasyarakatan, ada tuli
yang hidup sendiri diantara orang-orang dengar, ada juga yang hidup berkelompok.
Mereka yang hidup berkelompok lebih mengerti perbedaan budaya dengan budaya
lain atau budaya mayoritas. Mereka pun mengerti norma perilaku bahwa tuli
memiliki kesetaraan martabat, kehormatan, dan etiket.
Budaya tuli juga memiliki tradisi seperti acara
tahunan, contohnya syawalan bersama keluarga besar tuli, lomba, Hari Tuli
Internasional, olahraga antar Tuli se- Sekolah Luar Biasa (SLB) se-kota,
Nasional, dan bahkan sedunia yang dikenal dengan nama Deaflympic. Tuli juga
memiliki nyanyian dalam bahasa isyarat untuk lagu selebrasi. Cerita dalam
menggunakan bahasa isyarat untuk mengajarkan alfabet pada anak pun ada. Karya
komedi tuli, komik buatan Tuli seperti “That Deaf Guy”, dan deaf
anecdote pun muncul sebagai hasil karya tuli yang bercerita mengenai Tuli,
bahasa isyarat, peristiwa nyata, humor, dan hal-hal lucu lainnya.
Contoh kelompok tuli yang hidup dalam
kemasyarakatan di antaranya Deaf Art Community di Yogyakarta dan
Magelang Deaf Club di Magelang. Kelompok olahraga tuli pun ada seperti kelompok
futsal tuli, deaflympic, dan PORTURIN. Sekolah tuli juga ada contohnya Gallaudet
University di Amerika Serikat yang menggunakan metode bahasa isyarat dalam
proses belajar mengajar. Sedangkan internet dan media sosial yang akses untuk
tuli contohnya dengan video rekaman pada skype, camfrog, oovoo, dan
teknologi termodern seperi video call.
Seni dan Sejarah Tuli
Tidak sedikit masyarakat melihat bahwa kemampuan
Tuli dalam seni tergolong bagus. Penilaian ini dikarenakan Tuli dapat
memaksimalkan kemampuan visual. Mereka mampu melihat bagaimana orang lain
mengasah kemampuan seninya sehingga mereka mampu mencontohnya dan
mengaplikasikan terhadap dirinya. Contoh seniman Tuli dalam bidang musik adalah
Ludwig Van Beethoven dan Hellen Keller sebagai contoh penulis tuli. Tuli juga
mampu bermain teater, bercerita dengan menggunakan bahasa isyarat, memahat,
melukis, dan lain sebagainya.
Menurut Paddy Ladd seorang peneliti tuli dari
University of Bristol, perkembangan bahasa isyarat sudah ada jauh sebelum
abad ke 14. Sedangkan pada abad ke 17, alfabet tangan diciptakan oleh Juan
Pablo Bonet dalam bukunya. Kemudian pada tahun 1880 terdapat International
Congress on the Education for the Deaf (ICED) di Milan, Italia yang
membahas mengenai metode pengajaran dan penggunaan bahasa untuk tuli dalam
pendidikan tuli, oralism atau manualism. Namun pada kongres tersebut, mekanisme
oral yang mendapat suara terbanyak yang juga mendapat dukungan dari Alexander
Graham Bell. Sehingga perkembangan bahasa isyarat mulai menurun sejak saat itu.
Setelah peristiwa penting tersebut memicu pergerakan masyarakat tuli dengan
berdirinya The National Association of the Deaf (NAD) di Amerika untuk
memperjuangkan hak tuli, melindungi budaya dan bahasa mereka. Perjuangan
penggunaan bahasa isyarat kembali berkembang pada tahun 1960 oleh William C.
Stokoe dan penelitiannya mengenai ‘Sign Language Structure” pada
Bahasa Isyarat Amerika.
Perjuangan masyarakat tuli di dunia
mengenai pendidikan tuli berhasil membuahkan hasil dengan terselenggarakan ICED
kedua di Vancouver, Kanada pada 2010 yang membahas tentang resolusi Milan.
Metode pengajaran dan penggunaan bahasa yang tepat dalam pendidikan tuli adalah
bahasa isyarat. (Ramadhany Rahmi)
Referensi : Presentasi pada Seminar “Mengenal
Budaya Tuli dan Bahasa Isyarat”. Yogyakarta, 29 Maret 2015 oleh Adhi Kusumo
Bharoto, peneliti di Laboratorium Riset Bahasa Isyarat.
siip, Mada...
ReplyDelete