Semua orang berhak untuk saling berinteraksi,
berkomunikasi, dan mendapat informasi. Beragam cara dapat dilakukan untuk
melakukan hal tersebut, normalnya ada dua hal yang dominan dalam berkomunikasi,
yaitu suara dan visual. Namun tidak semua orang memiliki kedua hal tersebut.
Selama ini teman-teman tuli sering mengalami
diskriminasi dalam berbagai bidang (pendidikan, lapangan kerja, transportasi
umum, dll) yang berimbas pada tertutup dan hilangnya kesematan tuli untuk
beraktualisasi dan menunjukkan peran di dalam masyarakat. Hal tersebut
dikarenakan kurangnya akses informasi dan ketiadaan sarana komunikasi universal
yang dapat diakses bersama secara setara oleh mereka dan hearing people atau
orang-orang yang bisa mendengar.
Tuli atau kesulitan mendengar tidak menjadikan
teman-teman Deaf Art Community menjadi hilang kepercayaan diri. Mereka yang
tergabung dalam sebuah komunitas seni tuli atau lebih dikenal sebagai Deaf Art
Community (DAC) tetap semangat menjalani aktivitas harian mereka seperti
sekolah, kuliah, bahkan ada yang sudah bekerja. DAC memiliki sebuah rumah
singgah atau bascamp di Jalan Langenarjan Lor no.16 A, Panembahan, Kraton,
Yogyakarta.
DAC dibentuk sebagai suatu wadah bagi komunitas
tuli dan orang mendengar untuk berkumpul dan berinteraksi dengan menggunakan
metode bahasa isyarat. Sehingga mereka bersama-sama bisa bersinergi untuk
mencapai tujuan bersama, yaitu hilangnya batas komunikasi.
DAC menjadi komunitas yang bisa menjadi tempat
bagi tuli dan orang mendengar untuk saling belajar, berkreasi, berkarya, dan
bersinergi bersama-sama. DAC berdiri pada tanggal 28 Desember 2004 atas dasar
prakarsa dari Komunitas Tuna Rungu Yogyakarta yang pada waktu itu tergabung
dalam komunitas Matahariku.
Kegiatan Rutin DAC
1. Sekolah Semangat Tuli (SST)
Sekolah tidak harus terdaftar secara formal dan
administratif. Sekolah adalah tempat untuk belajar, mendapatkan ilmu baru, dan
berbagi dengan sesama. SST didirikan sebagai wadah bagi teman-teman tuli dan
orang mendengar mengasah kemampuan bahasa isyarat, berinteraksi, dan saling
belajar. Selain ilmu yang didapat akan lebih beragam, mereka mencoba menghapus
jurang pemisah antara tuli dan orang mendengar. Mereka beranggapan diskriminasi
terjadi ketika mereka bersikap tertutup, oleh karemanya mereka mencoba terbuka
terhadap masyarakat umum.
kelas bahasa isyarat |
Setiap hari Senin dan Kamis mulai pukul 16.00 -
18.00 WIB, mereka membuka Kelas Bahasa Isyarat yang dibuka untuk umum. Kelas
Bahasa Isyarat ini tidak dipungut biaya alias gratis. Pengajar kelas ini sudah
mendapatkan pelatihan dari Laboratorium Riset Bahasa Isyarat di Universitas
Indonesia. Mereka adalah Stephanie Kusuma Rahardja, Arief Wicaksono, Alim
Hizbullah, dan Riski Purna Adi. Pada setiap sesi juga terdapat dua asisten
pengajar yang membantu mengoreksi kata isyarat yang dipelajari oleh murid kelas
Bahasa Isyarat.
Dalam komunitas ini, seluruh anggotanya
menggunakan Bahasa Isyarat untuk saling berinteraksi. Termasuk juga hearing
people yang ikut berkecimpung di dalam komunitas ini. Selain bertujuan untuk
memperkenalkan budaya tuli, komunitas ini juga ingin mendukung BISINDO atau
Bahasa Isyarat Indonesia untuk diakui oleh pemerintah Indonesia karena BISINDO
merupakan bahasa asli yang dibuat oleh, dari, dan untuk tuli.
2. Waroeng Toeli
DAC sebuah komunitas seni tuli yang kerap
melakukan berbagai macam aktivitas kreatif, seperti bermusik, melukis, teater,
break dance, hingga puisi visual. Tak hanya itu, mereka pun memproduksi kaos,
pin, gelas, dan merchandise lainnya. Semuanya mereka lakukan secara mandiri,
mulai dari tahap desain hingga pemasaran. Aktivitas tersebut mereka lakukan di
Waroeng Toeli (WT).
3. Difabel for Cancer
Berbagi tak pernah rugi. Semangat inilah yang
menginspirasi mereka memproduksi pin bertuliskan Difabel for Cancer (difabel
peduli kanker). Pin yang mereka produksi secara mandiri dari proses desain
hingga pemasaran ini dijual dengan harga Rp 5.000,- dan 100% hasil penjualan
mereka sumbangkan ke Yayasan Kasih Anak Kanker Jogja. Salah satu bentuk
kepedulian dengan sesama. Meskipun mereka memiliki keterbatasan mendengar,
namun mereka masih memiliki kepedulian kepada penyandang kanker.
4. Pembuatan Film
Iklan Layanan Masyarakat atau ILM dibuat oleh DAC
bekerjasama dengan tim pembuatan film dari Kluwung Indonesia. Film yang
berisikan pesan kepada orang tua yang memiliki anak tuli bahwa mereka memiliki
hak untuk bergaul dan bersosialisasi dengan masyarakat umum. Jangan melarang
anak tuli untuk belajar di luar rumah dan mengasah kemampuan mereka bersama
teman-teman yang lain karena dengan mendukung aktivitas positif anak, potensi
yang ada dalam diri mereka mampu berkembang lebih baik.
5. Latihan Pementasan
Sebelum pementasan, tim DAC biasa berlatih di
halaman SST. Setiap rabu sore juga rutin diadakan latihan bermain jimbe, alat
musik yang dapat mereka dengarkan melalui getaran yang dihasilkan. Ada dua
anggota DAC yang sudah cakap memainkan jimbe yakni Diki dan Wahyu. Mereka
mendapatkan latihan dasar memaikan jimbe dari salah seorang mahasiswa di Jogja
yang dengan ikhlas membagikan ilmunya. Seiring berjalannya waktu, Diki dan
Wahyu sudah bisa mandiri menciptakan irama-irama baru.
Latihan lainnya seperti teater, pantomim, puisi
Bahasa Isyarat, dan hip hop juga biasa diadakan di halaman SST. Ide dasar
teater dan pantomim muncul dari tuli DAC dan kemudian berlatih bersama Pak
Broto yang juga menjadi pembina dalam komunitas ini. Puisi isyarat merupakan
curahan hati tuli di DAC yang dituangkan ke dalam sebuah puisi isyarat. Puisi
yang sudah dibuat berjudul "Adam dan Hawa" dan "Sekolah
Inklusi".
Tuli DAC juga mampu menunjukkan bakat tari
mereka, dalam hal ini hip hop. Mereka memilih hip hop karena sesuai dengan
musik yang dapat mereka dengar, yakni beatbox. Suara yang keluar dari mulut teman-teman
Beatboxing of Jogja mampu membuat dada teman-teman bergetar sehingga mereka
dapat mengikuti temponya. Gerakan hip hop yang mereka kuasai berkat latihan
rutin yang awalnya dibimbing oleh salah seorang mahasiswa di Jogja. Namun kini
mereka mampu menciptakan gerakan baru secara mandiri dengan bantuan youtube.
6. DAC Goes to School
Dengan mengusung tema "Berbagi Semangat
dengan Sesama", DAC mengunjungi sekolah-sekolah, khususnya sekolah
inklusi. Kesenian tetap menjadi landasan kegiatannya dan bekerjasama dengan
Beatboxing of Jogja dan Wadyo Bolo di setiap pementasan. Cerita utama yang
mereka usung adalah "Aku Ingin Menjadi Kupu Kupu" yang merupakan
gagasan dari salah seorang anggota DAC.
DAC Goes to School |
Saat ini DAC telah menjalin relasi dengan
sejumlah sekolah dan universitas yang ada di Yogyakarta. Lewat kunjungannya,
banyak penonton dan instansi yang tertarik terhadap budaya tuli, salah satunya
adalah Bahasa Isyarat. Tak jarang pula usai ementasan banyak orang tua yang
berkonsultasi mengenai anaknya yang tuli atau para akademisi yang harus
menghadapi teman-teman tuli.
Mulai dari Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Malang,
Makassar, hingga Lombok sudah mereka datangi untuk pementasan dan seminar. Dua
anggota DAC pun pernah mendapat undangan dari Perserikatan Bangsa Bangsa untuk
menjadi pembicara di Swiss dan New York pada tahun 2013.
7. Ulang Tahun DAC
Acara ini rutin diselenggarakan setiap tanggal 28
Desember. Dalam acara ini mereka menunjukkan pementasan dari hasil karya
mereka. Konsep yang mereka usung selalu berbeda setiap tahunnya. Dalam
kesempatan ulang tahun ini, DAC menyumbangkan hasil penjualan pin Difabel for
Cancer yang sudah digalang setiap tahun.
Keanggotaan
DAC
Istilah ketua yang biasa digunaan dalam struktur
kepengurusan, tidak berlaku di DAC. Komunitas ini memakai istilah Pilot,
Co-Pilot, Kapten, dll. Layaknya sebutan bagi awak pesawat, istilah inilah yang
mereka pilih dengan filosofi mereka ingin kelak semua tuli di dunia berada di
atas awan layaknya sebuah pesawat yang sedang mengudara. Semua orang akan
melihat mereka berada di atas yang artinya kelak semua tuli bisa mendapatkan
perhatian positif dari masyarakat.
Semua struktur keanggotaan DAC diisi oleh tuli.
Sedangkan hearing yang tergabung dalam komunitas ini disebut volunteer atau
relawan. Tugas mereka membantu DAC dalam setiap agenda yang sudah dijadwalkan.
Hubungan antara tuli dan relawan DAC mampu terjalin erat karena tidak hanya
saat ada kegiatan saja mereka saling bertukar pengalaman dan saling belajar.
Suara Hati
"Apa salah kami lahir di dunia, kami juga
lahir dari buah cinta, sama sepertimu anak-anak Adam dan Hawa yang terlahir
selalu tanpa dosa", berikut sebuah petikan puisi yang selalu mengiringi
pementasan DAC. Puisi tersebut berawal dari sebuah cerita salah seorang tuli
DAC bernama Arief. Dia bertanya kepada Pak Broto, "Mengapa di dunia ini
ada ulat bulu?"
Pak Broto menjawab, "Karena Tuhan
menciptakan ulat bulu."
puisi isyarat |
Tidak puas dengan jawaban tersebut, Arief
kembali bertanya, "Kenapa orang takut dan jijik dengan ulat bulu?"
"Karena ulat bulu bisa membuat gatal",
jawab Pak Broto.
"Pak, kami (tuli) ini seperti ulat bulu ya.
Orang jijik melihat kami, takut mendekati kami, mungkin mereka jijik dan takut
gatal ya Pak?", ungkap Arief.
"Jangan khawatir, kelak ulat bulu akan
berubah menjadi kepompong dan kepompong akan berubah menjadi kupu-kupu cantik
yang disukai semua orang", jawab Pak Broto.
Bermula dari kisah metamorfosis kupu-kupu, Arief
tertarik untuk membuat sebuah cerita mengenai ulat bulu dan mengubahnya ke
dalam sebuah puisi isyarat. Puisi yang senantiasa disajikan saat pementasan.
Tujuannya agar masyarakat umum sadar, kelak dengan latihan yang sungguh-sungguh
dan kepercayaan diri yang dimiliki teman-teman tuli, mereka akan bisa menjadi
kupu-kupu yang disukai oleh semua orang. Maka tercipta lah puisi isyarat dengan
judul "Aku ingin Menjadi Kupu-Kupu".
Kamu Bisa, Aku Bisa, Kita Sama
DAC memiliki slogan Kamu Bisa, Aku Bisa,
Kita Sama. Artinya semangat mereka tidak pudar meskipun mereka menyadari
keterbatasan yang mereka mmiliki. Mereka percaya, jika orang normal bisa
melakukan sesuatu, mereka (tuli) pun bisa melakukannya. Meskipun terkadang
dengan cara yang berbeda tidak lah menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap
berkarya.
Keanggotaan DAC terbuka untuk siapa saja yang
ingin bergabung. Tidak saja untuk tuli, namun terbuka juga untuk hearing yang
memiliki kepedulian terhadap isu disabilitas dan berkomitmen untuk menghormati
budaya tuli. Hingga tahun 2014 ini, anggota DAC tuli mencapai sekitar 30 orang
dan hearing sekitar 20 orang.
Deaf Art Community |
Sebuah kebersamaan yang memberikan ruang untuk
selalu bersyukur dan saling menghormati adanya perbedaan, itulah Deaf Art
Community. Mereka yang membagikan genggaman penuh cinta, bahkan mereka yang
memberikan arti nilai kehidupan penuh rasa syukur. Gerakan tangan mereka
bukalah isyarat tanpa makna, bukanlah tontonan sebelah mata, juga bukan sesuatu
yang hina. Saat orang lain menganggap masalah kecil sebagai petaka, mereka
tetap tersenyum penuh syukur di tengah keterbatasan.
No comments:
Post a Comment